Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Tak Ada Mawar

Temaram malam mengusik tabir jiwa, Berkhilwat dalam sunyi tentang cinta, Dapatkah ku cumbu satu? Biar kanda rasa seperti adinda, Waktu seperti belati, aku yang mati. Ruang seperti penjara, aku yang merana. Adakah satu mawar saja hinggap di kupingmu? Aku mau satu, benar-benar hanya satu, Karna sekalipun sampai larut senja, tak ada mawar yang mekar di taman cinta kanda. 10-12-17

Elegi kehilangan kata

Bila tak mengenal hari maka tak ku hitung perjumpaan kita. Dimana saling berpandangan tanpa jarak, menguatkan hanya lewat lisan di lorong doa. Bukankah doa mendekatkan? Dari ujung kemalasan aku berandai-andai. Sekiranya kau perupa hujan yang ku sentuh kini, datang dari awan selatan. Akan ku buat sebuah kolam demi memandikan kehidupan dari hirup udara penatnya hidupku. Apakah rindu itu akan hilang? Ku mainkan musik Payung Teduh, dengan segelas kopi sachetan hanya untuk memuaskan manis klise ini. Kopi seharga ribuan rupiah, hanya mengandalkan manis ilusi. Seperti gawai yang kugenggam ini, tidak ubahnya sebuah kopi sachet. Meski dunia berubah begitu maju, tapi tidak dengan rasa rindu. Kita bisa saja bersapa suara atau rupa melalui canggihnya gawai. Tapi rindu membaca itu hanya sebuah ilusi. Ternyata rindu tidak butuh rupa, rindu tidak butuh suara. Rindu butuh yang lebih dekat daripada itu semua. Bagaimana dengan yang sudah lama tidak bersapa? Akankah rindu menjadi bangkai? Adakah masa

Kotamu Amelia

Ameliaku, basah sudah tanah ini disiram air dari langit, Kotamu berpandang-pandang beton kuanggap taman bunga, Angin barat kian terasa sebab tak ada yang tahu romansa masa muda kita, Mungkin pasukan kuda citra akan tertawa cekikikan dan berlari berputar-putar dihadapmu. Ameliaku, sudah tak berbekas jejaknya tersapu air, Langitnya gelap, bintangnya jatuh ditimbun pasir, Dalam khilwat, kotamu bukan lagi kotaku, Oktober yang menghapus, sawaq menguat, Habislah ritus kata-kata, berpendar menjadi kunang-kunang, Kadang menghias pada malam, siapa tahu ada orang yang menitip sayang. Amelia, hanya bunga mekar musim kemarau. 29.10.17

Tanah kita

Tanah kita basah namun tidak memerah, Ucapan kita menyebar namun tak arif dihilang akal Desir darah pernah tumpah atas nama bangsa Lupakah kita, kini hanyalah sesonggok kerbau yang meracau Ancam mati dalam hidup Takut-takut tidak bisa menghirup harta, Padahal sang Pencipta Maha Pemurah tuhan-tuhan merajai jiwa kerbau Sang kerbau mengharap tuhan Tuhan diregah menjadi daya khayal Hanya hidup jika dalam kesempitan Tanah dilupakan, menjadi beton pelengkap kemewahan. 03.10.17

Kereta Pengganti

Kereta ini mengiringi perjalanan mimpi, Dimana semua berubah menjadi sunyi, Musim terantai terganti, Lelap terkantuk manusia pengharap rahmat, Dikau yang sedih sebab kehilangan setengah hati, Dengarlah banda neira sekali lagi, Karena yang sia sia akan berbuah menjadi makna.. Hilang lah sebuah syair, Perjananan yang menuntun sunyi, Sendiri. 27.09.17

Rumah Puanku

Kaca-kaca rumah ini menyilaukan kerlap kemilau rembulan, Atapmu terpeluk oleh ribuan mawar merona, Sedang dindingnya adalah mata air sisa puan bersedih, Tak ada pintu di dalamnya, menjadi benalu sebab utopia hati selalu menjunjung tinggi, Asmaraku yang malu tiada tertahta, Aku kian meraba pada tatap, merasakan puan dalam rumah kerlap gemerlap, Malam nan rembulan terkasih jadi pahit pudar tenggelam gelap, Gita cinta tetap oasis, Walau hanya fatamorgana 07.09.17

Berkelana ke 7 Semesta

Sebagai pelepas pagi aku berada di tapal batas antara kenyataan dan kefanaan, Dari bibir ku mencipta kata tentang namamu, Tak henti menjadi sebuah ikatan janji, berikrar pada waktu dan ruang, Dari sajadah ku tengok sebuah kilauan emas dari setiap kilauan mentari menyentuh kulitnya, Terhempaslah aku menjadi angin terbawa ke arah matanya, melayang ke tujuh semesta, namun selalu ada namamu.. Dawai merdu terus melagu selagi aku masih di atas sini, hinggap memeluk bintang dan berkelana mencari pelangi di antara bulan, Kau di bawah saja dan teruslah melenggak lenggok puan, Aku bawa kau kelak menjadi merpati nan siap memakan sebagian hati dari pujangga fana. 23.08.17

Musim Dalam Candu

Sejak lelap menunggu, Mataku tak lelah mengejamkan, tak kenal waktu, Pedih mengudara, saat simpul senyummu menusuk tepat dalam ulu, Apalagi bola matamu sudah seperti candu, Apakah ini musuhku, meski ku tahu ini perjalanan rindu.. 22.08.17

Manusia?

Sudah lelapkah kau menjadi candu? Mengiba pada malam ini, ku dihempas oleh kesemuan, Pahitnya langkah kaki menitip rindu pekat yang mulai luntur, Meski jalan tak tahu arah, Hinggap terjerumus pada malam jalang, Aku meragai manusia, Entah esok? 19.08.2016

Selamat Pagi, Tenang

terburu lelah mata terpejam, mencium pekat teramat sesak, hanya kata menyambut rasa yang hilang, semoga rasa yang telah hambar bermuara oasis, selama sayang tak pernah membanggakan, selamat pagi tenang, 16.08.17

Saya dan Jakarta II

Dari cerita kemarin saya sempat merasa putus asa untuk tinggal lama di kota ini. Tugas kuliah memaksa saya untuk tetap bertahan beberapa bulan kedepan. Saya sudah acap kali bosan dengan suasana macet di sini yang tak tentu waktu dan tempat. Saat saya berkendara motor di jalanan sudah tidak asing dengan klakson yang berdering dimana-mana, padahal jalanan macet, tapi semua orang seperti dikejar setan. Buru-buru ke tempat kerjaan dan melupakan orang sekitar, toh mugkin orang sekitarpun tidak memikirkan satu sama lain juga.  Banyak “binatang” di jalanan jika kita menyenggolnya tanpa sengaja maupun sengaja. Angkot yang berhenti di tengah jalan padahal ada rambu dilarang stop, dan parahnya lagi ada salah satu aparat tidak jauh dari situ hanya mengayun-ngayunkan tangan, hmm saya berpikir positif memang sedang memperbolehkan angkot mangkal. Ah, kembali lagi saya rasa memang kota ini bukan untuk merasakan romantismenya, tapi hanya untuk dikeruk nilai-nilai materialnya. Baru saja sa

Jendela Kamar

Antara pagi dan malam ini, Pembatas keduanya samar samar tipis, Saban pelangi pasti tak nampak memungkiri, Seperti jendelaku malam ini menatap membiarkanku terbuai pada yang termanis, Hinggap terlelap tak tentu restu, Dari alam bahkan sisi Tuhan, Ikrar sudah tenggelam sunyi sayang, Tinggal bias membekas malam ini berakhir menjadi embun dan seberkas patricor pagi, Tetaplah tenang, perlahan akan menjadi dongeng sendiri, Bagiku yang mengepak sebelah pada bumi terkasih, Terima kasih jendela kamarku. 12.08.17

Saya dan Jakarta I

Sudah hampir tiga minggu saya menjadi “warga” urban Jakarta. Banyak pengalaman sudah terekam dalam ingatan. Selama ini saya hidup di Jogjakarta tidak ada masalah dengan hiruk pikuknya aktivitas masyarakat kota, khususnya kendaraan bermesin. Selain untuk menimba ilmu dengan status magang di start-up pendidikan terbesar di Indonesia, saya juga menimba ilmu di jalanan. Sudah banyak sekali pelajaran yang saya terima dari indera ini. Sebenarnya saya sudah merencanakan menaiki kereta api saja untuk mencapai tempat kerja, namun setelah saban hari mencoba, anggaran yang dikeluarkan cukup cekak bagi anak kost seperti saya. Jadi saya berpergian dengan tidak tentu, kadang menggunakan kereta api, kadang juga menaiki sepeda motor. Jakarta, banyak orang mengatakan kota ini adalah seribu harapan bagi yang ingin mapan. Mapan dalam bentuk materialisme semata, tapi itulah kenyataannya, baik dari pedagang asongan sampai konglomerat. Memang kota ini begitu memberi sercecah gengsi do

Melati Sore

Kau yang ada di ubun-ubunku, Sudahkah menjadi melati sore ini? Terbias putih mewangi diantara lentera-lentera rumah ini, Yang temboknya menguning memancarkan keindahan sore, kini tiada rupa penjelma liuk senyummu, Aku lah sebuah kata, menguap menjadi angin terbawa oleh sebuah rindu, Kau sudah tak bisa mencari itu, Rindu sudah menebar ke dalam semesta malam, Kini kau hanya bisa memeluk memoar-memoar, Tiada aku, kini tiada.. Hanya kamu dan kebahagiaanmu 05.08.17

Burung Malam

Adakah kata perpisahan pada semesta saat meninggalkan malam? Seperti angka satu, kau yang meniadakannya, Adakah saat kepakan sayap burung tiada bisa memudarkan Angin? Aku lah yang tak tahu apa benar senyum itu nyata. Pada gemilang bintang yang melintang malam ini, dan ku yakin kau pasti menyaksikannya jua, Tiada buih ucap kau tanggalkan, perpisahan tetaplah kepastian entah kematian atau seribu diam. Terbanglah sudah burung cemariku, Kau perlu sangkar baru, dengan kepingan emas menyelimutimu, Maka kan ku nikmati tiap dirimu yang menjadi titik, menjauh.. Dan kau hanyalah terbang, tanpa kau tahu apa hakikat cinta angin pada tiap belaiannya. 03.08.17

Hujan Agustus

Hujan berlari ke bumi pada bulan Agustus, Membasahi dengan ikhlas daun-daun kering, Jatuh tepat depan jendela kamar, Bias-bias semilir menjadi suci, Air mata Agustus, Bersama langit sore ini, Aku kian bersama Agustus. Bahagialah merpati-merpati yang hinggap di pohon rindu. 02.08.17

Bias

Kau titahkan sebuah kata, dalam petuah cinta dalam luka, Ketahuilah, aku adalah semilir angin yang menerpa wajahmu di kala panas, Akulah jelmaan hijabmu di kala kau tutupkan kecantikanmu, Aku adalah matamu yang kulihat kini candu risau, Sekarang aku adalah itu, Dan kau tak perlu tahu, Inilah cintaku, dan kau acuh menyadarinya, Akulah sepotong kata, dan tak pernah kau ucap.. 02.08.17

Celotehan Dini Hari

Bergurau sudah pada dini, Tepat aku membuka mata pada pukul satu, Hawa mengapa kau tercipta pula? Berkat kau anak Adam ini mengenal rindu. 30.07.17

Setangkai Kawan

Kepada setangkai daun rindang, bertahankah kau tertiup lambaian mesra angin? mengokoh menopang untuk kalian terkawan, Percayalah aku, kau dan kalian, kita masih menjadi buih, Lebur melebur menjadi sekumpulan ombak kecil, Itulah kita, kalian tak perlu tahu, Inilah kita, menanti akhir kisah perantauan, Begitulah kita, mengemis kenangan kebodohan Dan aku masih saja mengiris hati untuk tidak berkata-kata 22.06.17

Kepingan-Kepingan Yang Enggan Dilupakan

Kata-kata yang kuucap kini menjadi manis, sebab rasa memoar dahulu tak akan mungkin mengulang. Menjadi sentuhan malam kini, Semakin manis saat angan kembali berangan Menatap ku ditatap purnama, Tak secerah diselimuti bintang, Hembusan demi hembusan adalah arti rindu sebenarnya, Malam ini alunan dan tatapan bisu benda mati menatap seakan mengajak masuk ke dalam rona-rona masa lalu Sepeda mini pink, langkah demi langkah saat pulang sekolah Angkutan hijau dengan nama-nama unik, Dan keping-keping perasaan yang dulu mengalun dan masih singgah mendewasa seperti ini, Akulah sisa-sisa dan masih terduduk manis, Tiada lagi, kini meniada, mendewasa semua sudah mendewasa. Kini hanya ada.. Memori di masa muda 11.05.17

Selubung

Dia adalah selubung dari setiap kata, Saat peranjat kata mulai tercurah dari bibir, Sudah direnggut segala indera untuknya, Kini kefanaan menjadi tabir, Sudah habis kau hisap, Kini ku ikhlasan ketiadaan, Maka terbaring sudah dalam lelap malam ini, Esok lagi, lagi, dan fana lagi. 03.05.17

Jangan Bertanya

Pada rayu-rayu kata kemarin suntuk, sudah saatnya kau tertawa Pada seribu macam manusia Pada resah rasa tidak tentu arah Jangan bertanya, benak risau benalu! Sudah semestinya ku selami dalamnya lumbung cinta dari kelopak matamu Pun sudah kusesali maksud semua celotehan-celotehan tak bersuara Jangan bertanya pula fatamorganaku! Ini hanya selongsong peluru, Untuk tangan, tubuh, jemari, mata, dan tiap hela nafasku Jangan bertanya, tetaplah mengair, mengudara dan meresap Sebab selongsong peluru terus berusaha menembak 30.04.17

Puber Kedua

Jika aku jatuh cinta kembali, Dengan kerut di pipi, jemari sampai dahi, Kau pun seperti mawar lagi yang harum mewangi, Jika aku puber kedua nanti, Kutitipkan langkah dari jarak yang tak mengerti, Ku kan genggam tiap jemarimu, tuk menyambut maut, Hingga nasib jarak dan waktu tak tentu, Danau pun kering kehilangan air sebab nafasnya adalah rindu menyatu, Keriputmu adalah sutraku, Kau cinta pertamaku, tenggelamlah pula dalam puber keduaku. 18.04.17

Hutan Terkasih

Marah, Apa yang terjadi dengan orang-orang diluar sana?! Mereka mengutuk lorong gua hitam pekat tanpa ada secuil matahari merebahkan cahayanya di tiap batu2 bumi ini. Muak, Heihssst, Apa mereka hanya bisa mengolok-olok? Sok kuasa, sok manusia, mentang-mentang pemimpin tapi seperti tidak ada yang mampu dipimpinnya. Mana ada pemimpin menghamba pada materi?! Kau yang buat kau juga yang menyembah. Lucu. Gembira Apa Mereka tidak sadar? Dibalik pekatnya gua ini terdapat hutan indah seperti lukisan di rumah-rumah mereka. Tanaman-tanaman dengan siulan angin asmara, dari pohon-pohon dan tanaman merambat tinggi nan merindangkan. Aduhai, apalagi ada bunga kasih yang wangi dan indah sendirian. Aku yakin dia cantik hanya untukku, dia harum juga untukku. Takut Tapi, apa ini nyata? Hutan dibalik gua yang entah mendapat sinaran surya darimana, hangatnya tidak memanaskan kulit. Jejak kakiku?!! Bagaimana jika orang-orang diluar sana penasaran sama sepertiku? Lalu mereka masuk dan menelanjangi hu

Untuk Menjadi Kamu

Untuk menjadi kamu, Harus menabur malam dengan seribu semesta, Menjadi awan tepat menghias mata, Mendekap pasir putih yang menjadikannya basah, Berbaur pada ombak, patah karang yang dicumbuinya sudah Tak sulitkah engkau? Menjadi cinta atas gambaran kecintaan-Nya Bersatu memeluk bersama nafasmu, Menjadi bagian tapi terpisah darimu, Kau kecintaanku dari gambaran indah-Nya 07.04.17

Begini, Begitu

aku cemburu, pada embun yang menguap membasahi pagi, aku cemburu, pada malam berkalung bintang atas rasi-rasi. aku cemburu, pada angin yang menghembuskan dedaunan teras rumahku, dan aku pun masih cemburu pada kata-kata yang menjadikannya kalimat.. Aku selalu cemburu.. begini, dan begitu 30.03.17

Rupa Semesta Pecinta

Semestinya tidak kau tunjukan rupa, Saat pandang mata bercumbu ria dihadap semesta, Kau adalah semburat cahayanya yang menebar rasi-rasi atas rasa-rasa kata, Tidak tertulis atau tertitah dalam buku-buku, Begitu pun kau tak bicara namun bersemayam sudah lekas tuturmu serta aksara-aksara rindu tak pernah diucap dahulu, Saat kupandang kembali, Benar, kau juga apa-apa yang pernah ku andaikan sebelumnya, Tapi ku tidak cinta kau, Aku mencintai Tuhan, dan kau adalah ayat-ayat tidak tertulis dari-Nya, Juga, melaluimu ku semakin melihat kecantikan-Nya, Meski manusia-manusia menolak akan keyakinan ini, Harus kah ku beri alasan? Tidak, Dirasa dan merasa hanya qolbu yang menuainya, Begitu kata cinta, tertulis jelas merambah makna, Kau makna salah satu atas kebesaran-Nya, Mengetuk jingga, merah, biru, pelangi dalam jiwa yang ke-abu-abuan, Semesta kini menyaksikan, mataku matamu bersatulah.. Dalam pandang cinta kasih dari Sang Maha Kuasa, Masih terbuai kini kekasih.. Bersemayamlah dalam bunga-bung

Pada Kala Itu

Bau tanah kembali menyerbakan harumnya, Secercah sinaran indahmu, mengalun merdu membisikkan rindu, Tak pernah suara barat mengalunkan nada-nada saat senja dulu, Aku pernah merasa cinta kala senja. Saat kita tertawa dalam buai bunga, Masihkah engkau mengingatnya? Dalam cerita abadi kita.. Mungkinkah kini engkau dibawa angin timur, hingga kau tersulut oleh bayangnya. Masihkah ada, mawar mengindahkan. Kisah aku dan dia selamanya. Mungkinkah aku, tersesat dalam rindu, Seperti lorong yang tak berujung. Ataukah arah ini menunjukkanku padamu. Cinta sejati dalam selimut tidur. Kau yang bernama cinta, Benarkah kau ada, disini ku merasakan gelisah. Terpatungku dibuatnya, membentuk arah yang patah. Hitam pekat tiada tara. Malu diriku malu, seperti putri malu, yang harus melungkup walaupun pun ku tahu dirimu. Ku ingin dalam benak harapan itu tetap cerah, Seperti kalimat-kalimat yang terbuai pada senja dulu. Semoga kau dan aku, dipersatukan oleh waktu. Dan Takdir Tu

Mimpi Wisuda

Sebenarnya saya malas untuk mengetik karena saya bukan penulis apalagi pintar berandai-andai, kalaupun iya pasti saya bisa menyelesaikan proposal skripsi dengan tuntas tanpa masalah tapi kenyataannya? Bisa kalian tebak sendiri. Saya mengetik ini sebab tadi siang saya tidur lalu mengalami mimpi aneh, entah mimpinya begitu hampir nyata. Jadi disini saya tidak usahlah menceritakan bagaimana saya bisa tertidur, intinya saya tidur..                 Dalam mimpi, saya berada di kost sudah bersiap-siap keluar kost untuk pergi ke kampus dengan menggunakan sepeda. Aku ingat persis, bahwa saya harus memberikan bunga pada entah siapa, kalau tidak salah ada acara wisuda. Dengan semangat 45, bergowes rialah saya di pagi yang cerah.                 Sebelumnya mungkin saya akan mendeskripsikan kampus tempat belajar saya. Kampus saya itu cukup luas dari pada kampus tetangga, dengan setiap jurusan dan prodi masing-masing, punya gedung sendiri bercat kuning kecoklat-coklatan. Tempatnya bersih, d

Pranaris Luna

Seperti malam kemarin, malam tahun lalu, bahkan malam saat pertama kali aku duduk di kursi malas ini, beserta segelas kopi manis sambil mencoba bermalas-malasan. Tetapi tidak bisa, malam ini langit terlalu menggodaku untuk terus menatap semburat kebiruan bagai samudera yang telanjang memamerkan keindahan lekuk tubuhnya, cahayanya menerpa wajahku. Ada ribuan? jutaan? Entah berapa banyak bintang putih berpendar tersebar mengalungi langit itu, begitu damai, tenang, namun juga menitip asa yang tak pernah terpuaskan. Mungkin bulan purnama di atasnya menjadi tiang penopang di mana langit itu berdiri. Bukan itu saja, malam ini juga aku diperhatikan oleh hamparan luas sawah hijau yang terlihat karena cahaya rembulan yang begitu terangnya. Dari ujung timur sampai ujung barat, mereka menyaksikanku, seperti menonton pertunjukkan opera yang penuh haru biru. Di tambah, kunang-kunang menari asyik terbang dengan pendaran cahaya pada tubuhnya. Aku kira dia sama seperti bintang di atasn

Tentang Aku, Gie dan Rumi

Aku ingat, ketika Rumi berucap tentang arti cinta. Seketika ku lupa aku merasa salah dalam mencintai Tuhanku. “Cinta adalah anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia agar mereka bisa tahu bagaimana cara mencintai Tuhannya” Saya sadar, melati yang telah lama saya sirami bukanlah kesalahan saat saya mencintai putihnya. Perlahan ada rasa benci yang menelisik setiap tubuh ini. Mengapa bunga tersebut tidak seharum layaknya dongeng seribu satu malam? Saya pernah bertemu Soe Hok Gie, dan bertanya tentang apa itu cinta? “Cinta murni haruslah dibuang ke keranjang sampah”  ucapnya. Dia tidak percaya dengan cinta sejati, menurutnya cinta adalah nafsu. Saya akhirnya menemukan seseorang yang sepemikiran. Kemudian, saya tidak menyirami bunga itu kembali. Kultinya menjadi kusam, batangnya lemah, harumnya perlahan pudar. Setega itu saya, esoknya kutemukan ia kembali putih dalam keadaan segar nan harum, batangnya pun tegak menantang. Hujan deras semalam m

Sayapsayapatah

Perangainya bak bidadari Gemulai, lembut enggan disakiti Pendusta mampu menjadi gila karenanya Selalu ada alasan untuk memujinya meski nanah dan darah sempat terhirup keduanya Masih kau anggap dia kapas? Yang mampu kau tiup? Perlahan sukmamu habis Karena dibawanya Sampai kau meringis Dialah sutra yang tak pernah kau sadari.

Bocah Kecil

Bocah kecil bermain riang, di bawah rindangnya cipta langit, kadang ia membias, kadang sandekala terhias, bocah enggan menyapa.. ia asik, bermain sendiri.. besok kelak langit menjatuhkannya, tak puas ia hanya membuatnya sendiri pada kesendirian bocah kecil senang, masih menyelimuti, hanya iri langit tak bisa menjejakkan senyum sore ini.. 15.02.17

Rayuan Burung Hantu

Semalam burung hantu mencoba bernyanyi, Menggumam, Menggoda, Bersiul padaku.. Tak tega dia, Tatap mataku kosong, Mencoba meraba makna dalam pepesan pikiran, Burung hantu melambat waktu, Turut membantu anak perjaka ini.. Sama saja, Hari ini, hidupku dikuasai oleh si dia, belum pernah ku tatap dua rembulan, Selamat malam pecinta, Begitu burung hantu tertawa.. 10.02.17 Yogya

Diorama Terakhir

Diorama terakhir, semua manis sepah ruah, menjadikan kalimat sebagai isi qolbu, rintik jemari menelisik bisikan kata, usai pandang malam kian membiru, sekarang tidurlah. karena ia sudah menjelma menjadi titik. tertanda tamat. 19.01.17

2017 (Tahun Tua)

Kembali lagi, Sebelum mati setelah tegak berdiri, Hari ini kian menjadi sejarah, Dimana hari yang baru penuh dengan alunan simponi kembang api, Hanya kini hari telah baru mencumbu aku, Demi sebuah rona baru yang semakin meromantis, Biarlah kini semua terekam dalam rindang senyum. Waktu lalu kini bersemayam bersama angin pantai ngrumput, Sesembahan terkalungi dengan binar binar baru. Langkah kini sendiri, semua sendiri menjadi mandiri. Seperti 2017

Jalan Parangtritis

Selasar jalan parangtritis kian membiru, sandekala kian menggagahi jiwa yang rabun, seraya sapa sore terhanyut dalam kata, tidak usah kau sapa kembali sore ini sayang, peluh nanah sudah terusap oleh deru, bahagialah kau sayang, karena beban cintamu tak sepedih duri, karena aku,  hanya makhluk.. begitupun juga kau, sejatinya rasa kian mati perlahan saat sore ikut tenggelam, berbeda semua, karena rindu menghinggap, rindu yang tak kenal waktu, waktu yang terus memaksa, terus bersandar pada palung dangkalmu, sayang, sekarang maghrib. sholatlah.. kita akan bertemu pada doa yang sama

Tentang Sama

Terdapat kalimat di sela-sela sepi, mengairi hati yang telah lama ditinggali, saat beranjak menuju gairahmu, redam rasa maluku memuncak kalbu, apakah ini rindu? yang malu seperti dulu..?? 11.01.17

Sepi

Sepi sekarang mulai sendiri, Melihat kaca di luar sudah terlalu malam, Ayo sayang, sekarang sudah larut malam, Sepi tak mau pulang, karena sepi, tetap ingin menjadi sepi. 5.1.17