Skip to main content

Saya dan Jakarta I







Sudah hampir tiga minggu saya menjadi “warga” urban Jakarta. Banyak pengalaman sudah terekam dalam ingatan. Selama ini saya hidup di Jogjakarta tidak ada masalah dengan hiruk pikuknya aktivitas masyarakat kota, khususnya kendaraan bermesin. Selain untuk menimba ilmu dengan status magang di start-up pendidikan terbesar di Indonesia, saya juga menimba ilmu di jalanan. Sudah banyak sekali pelajaran yang saya terima dari indera ini.

Sebenarnya saya sudah merencanakan menaiki kereta api saja untuk mencapai tempat kerja, namun setelah saban hari mencoba, anggaran yang dikeluarkan cukup cekak bagi anak kost seperti saya. Jadi saya berpergian dengan tidak tentu, kadang menggunakan kereta api, kadang juga menaiki sepeda motor.

Jakarta, banyak orang mengatakan kota ini adalah seribu harapan bagi yang ingin mapan. Mapan dalam bentuk materialisme semata, tapi itulah kenyataannya, baik dari pedagang asongan sampai konglomerat. Memang kota ini begitu memberi sercecah gengsi dongeng yang patut diceritakan pada mertua ataupun teman sebaya, tapi tidak untuk merasakan romantisme kota ini.

Seperti pengalaman saya menggunakan kereta api. Manusia-manusia urban di Jakarta bergitu berbeda. Dari pertama saya menginjakkan kaki di stasiun, saya banyak melihat semua orang memakai tas menghadap ke depan, ada apa gerangan? Sedangkan saya masih asyik menggunakan tas punggung secara normal. Setelah saya telisik masyarakat urban ini takut barang berharganya berpindah tangan, dalam kata lain kecopetan. Dari sini saya mulai menyadari betapa tenggang rasa antar manusia mulai berkurang. Para manusia ini mulai tidak mempercayai orang-orang sekitar. Mereka hanya bisa mencurigai setiap orang yang lalu lalang adalah seorang pencopet yang akan mengambil barang berharganya kapanpun. Saya pun merasa meskipun suasana dalam kereta sangat penuh untuk berdiri bahkan saya merasa sendirian. Karena semua manusia-manusia ini sangat acuh terhadap orang lain. Ketika saya turun di stasiun Tebet,banyak orang yang memaksa dengan mendorong-dorong orang di depannya untuk keluar dari kereta. Bahkan terdapat perempuan namun acuh saja, hal ini jarang terjadi, dan kejadian ini pun saya rasakan beberapa hari setelah menggunakan kereta api, dan itu sudah seperti ucapan selamat datang saya terhadapan kota metropolitan ini. Apatis, kesan pertama saya pada kota ini.

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha...

Ingatan Buku: Childfree and Happy (Victoria)

Ingatan Buku: Childfree and Happy Oleh Victoria Tunggono Di jagat maya sedang trend isu yang masih diperbincangkan pro kontranya di Indonesia. Apalagi di Twitter, banyak hilir mudik opini-opini tentang konsep hidup childfree atau childless. Kenapa bisa ramai diperbincangkan? Karena konsep hidup childfree berupaya untuk hidup sepanjang umur tanpa memiliki anak kandung. Seyogyanya fade kehidupan umum harusnya memiliki anak, tetapi childfree memiliki pendapat lain soal anak. Buku ini membuat saya mengenal lebih dalam secara personal konsep hidup childfree dari kacamata penulis. Uniknya penulis di sini sudah memiliki anak, meski dari pernikahan masa lalunya. Ia meyakini childfree ketika menikah lagi. Satu poin yang pertama saya dengar pertama kali tentang konsep hidup satu ini, Egois. Bagaimana seorang perempuan yang memiliki rahim tidak mau memiliki anak dengan banyak alasan yang menurut saya bisa ditolerir. Seperti, takut badannya berubah, takut anak-anak, malas mengurus anak...