Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

Berkelana ke 7 Semesta

Sebagai pelepas pagi aku berada di tapal batas antara kenyataan dan kefanaan, Dari bibir ku mencipta kata tentang namamu, Tak henti menjadi sebuah ikatan janji, berikrar pada waktu dan ruang, Dari sajadah ku tengok sebuah kilauan emas dari setiap kilauan mentari menyentuh kulitnya, Terhempaslah aku menjadi angin terbawa ke arah matanya, melayang ke tujuh semesta, namun selalu ada namamu.. Dawai merdu terus melagu selagi aku masih di atas sini, hinggap memeluk bintang dan berkelana mencari pelangi di antara bulan, Kau di bawah saja dan teruslah melenggak lenggok puan, Aku bawa kau kelak menjadi merpati nan siap memakan sebagian hati dari pujangga fana. 23.08.17

Musim Dalam Candu

Sejak lelap menunggu, Mataku tak lelah mengejamkan, tak kenal waktu, Pedih mengudara, saat simpul senyummu menusuk tepat dalam ulu, Apalagi bola matamu sudah seperti candu, Apakah ini musuhku, meski ku tahu ini perjalanan rindu.. 22.08.17

Manusia?

Sudah lelapkah kau menjadi candu? Mengiba pada malam ini, ku dihempas oleh kesemuan, Pahitnya langkah kaki menitip rindu pekat yang mulai luntur, Meski jalan tak tahu arah, Hinggap terjerumus pada malam jalang, Aku meragai manusia, Entah esok? 19.08.2016

Selamat Pagi, Tenang

terburu lelah mata terpejam, mencium pekat teramat sesak, hanya kata menyambut rasa yang hilang, semoga rasa yang telah hambar bermuara oasis, selama sayang tak pernah membanggakan, selamat pagi tenang, 16.08.17

Saya dan Jakarta II

Dari cerita kemarin saya sempat merasa putus asa untuk tinggal lama di kota ini. Tugas kuliah memaksa saya untuk tetap bertahan beberapa bulan kedepan. Saya sudah acap kali bosan dengan suasana macet di sini yang tak tentu waktu dan tempat. Saat saya berkendara motor di jalanan sudah tidak asing dengan klakson yang berdering dimana-mana, padahal jalanan macet, tapi semua orang seperti dikejar setan. Buru-buru ke tempat kerjaan dan melupakan orang sekitar, toh mugkin orang sekitarpun tidak memikirkan satu sama lain juga.  Banyak “binatang” di jalanan jika kita menyenggolnya tanpa sengaja maupun sengaja. Angkot yang berhenti di tengah jalan padahal ada rambu dilarang stop, dan parahnya lagi ada salah satu aparat tidak jauh dari situ hanya mengayun-ngayunkan tangan, hmm saya berpikir positif memang sedang memperbolehkan angkot mangkal. Ah, kembali lagi saya rasa memang kota ini bukan untuk merasakan romantismenya, tapi hanya untuk dikeruk nilai-nilai materialnya. Baru saja sa

Jendela Kamar

Antara pagi dan malam ini, Pembatas keduanya samar samar tipis, Saban pelangi pasti tak nampak memungkiri, Seperti jendelaku malam ini menatap membiarkanku terbuai pada yang termanis, Hinggap terlelap tak tentu restu, Dari alam bahkan sisi Tuhan, Ikrar sudah tenggelam sunyi sayang, Tinggal bias membekas malam ini berakhir menjadi embun dan seberkas patricor pagi, Tetaplah tenang, perlahan akan menjadi dongeng sendiri, Bagiku yang mengepak sebelah pada bumi terkasih, Terima kasih jendela kamarku. 12.08.17

Saya dan Jakarta I

Sudah hampir tiga minggu saya menjadi “warga” urban Jakarta. Banyak pengalaman sudah terekam dalam ingatan. Selama ini saya hidup di Jogjakarta tidak ada masalah dengan hiruk pikuknya aktivitas masyarakat kota, khususnya kendaraan bermesin. Selain untuk menimba ilmu dengan status magang di start-up pendidikan terbesar di Indonesia, saya juga menimba ilmu di jalanan. Sudah banyak sekali pelajaran yang saya terima dari indera ini. Sebenarnya saya sudah merencanakan menaiki kereta api saja untuk mencapai tempat kerja, namun setelah saban hari mencoba, anggaran yang dikeluarkan cukup cekak bagi anak kost seperti saya. Jadi saya berpergian dengan tidak tentu, kadang menggunakan kereta api, kadang juga menaiki sepeda motor. Jakarta, banyak orang mengatakan kota ini adalah seribu harapan bagi yang ingin mapan. Mapan dalam bentuk materialisme semata, tapi itulah kenyataannya, baik dari pedagang asongan sampai konglomerat. Memang kota ini begitu memberi sercecah gengsi do

Melati Sore

Kau yang ada di ubun-ubunku, Sudahkah menjadi melati sore ini? Terbias putih mewangi diantara lentera-lentera rumah ini, Yang temboknya menguning memancarkan keindahan sore, kini tiada rupa penjelma liuk senyummu, Aku lah sebuah kata, menguap menjadi angin terbawa oleh sebuah rindu, Kau sudah tak bisa mencari itu, Rindu sudah menebar ke dalam semesta malam, Kini kau hanya bisa memeluk memoar-memoar, Tiada aku, kini tiada.. Hanya kamu dan kebahagiaanmu 05.08.17

Burung Malam

Adakah kata perpisahan pada semesta saat meninggalkan malam? Seperti angka satu, kau yang meniadakannya, Adakah saat kepakan sayap burung tiada bisa memudarkan Angin? Aku lah yang tak tahu apa benar senyum itu nyata. Pada gemilang bintang yang melintang malam ini, dan ku yakin kau pasti menyaksikannya jua, Tiada buih ucap kau tanggalkan, perpisahan tetaplah kepastian entah kematian atau seribu diam. Terbanglah sudah burung cemariku, Kau perlu sangkar baru, dengan kepingan emas menyelimutimu, Maka kan ku nikmati tiap dirimu yang menjadi titik, menjauh.. Dan kau hanyalah terbang, tanpa kau tahu apa hakikat cinta angin pada tiap belaiannya. 03.08.17

Hujan Agustus

Hujan berlari ke bumi pada bulan Agustus, Membasahi dengan ikhlas daun-daun kering, Jatuh tepat depan jendela kamar, Bias-bias semilir menjadi suci, Air mata Agustus, Bersama langit sore ini, Aku kian bersama Agustus. Bahagialah merpati-merpati yang hinggap di pohon rindu. 02.08.17

Bias

Kau titahkan sebuah kata, dalam petuah cinta dalam luka, Ketahuilah, aku adalah semilir angin yang menerpa wajahmu di kala panas, Akulah jelmaan hijabmu di kala kau tutupkan kecantikanmu, Aku adalah matamu yang kulihat kini candu risau, Sekarang aku adalah itu, Dan kau tak perlu tahu, Inilah cintaku, dan kau acuh menyadarinya, Akulah sepotong kata, dan tak pernah kau ucap.. 02.08.17