Skip to main content

Posts

Showing posts from May, 2019

Darimu, Pada Hati Yang Runtuh

#1 Setiap awal menuai akhir Begitu pula dalam kisah kasih Setiap detik begitu mengalir Entah roma nadi mana yang berdenting? Adakah pada jantung ini dapat melambat? ku terbuai kembali dalam perpisahan jarak Pada awal kita menanti akhir, Atau ini adalah sebuah akhir? Kini awal adalah akhir yang tak terhitung angka-angka, Sedang kita adalah bagian semesta yang dicipta untuk mencinta sekali saja, Tanpa harus berkata-kata selamanya Awal #2 Apa itu cokelat? Apakah ia sebuah fatamorgana dalam sunyi senyap? Ataukah pertemuan dengan penuh senyummu terlihat? Yang ku tahu ia manis, Namun apa itu manis? Apakah itu sebuah kebahagiaan dalam satu perasaan? Atau dapat merengkuhmu dalam peluk lalu kita taburkan jiwa pada malam-malam jalang? Jika ia sebuah kasih, maka ku telan tanpa gelas Sebab aku adalah gelas dan engkau adalah itu (cokelat) Cokelat #3 Dini kembali lagi Pada renung atas gelisah luka-luka Dini ia masih sendiri Menebang kesakitan dalam syair-s

30 Hari

# 1 Berkat amsal rayumu Meninggalkan setapak haru Melalui tanda-tanda langit Lucunya menggelitik serta tawa yang membaur angin laut Membawa pada tanya-tanya selanjutnya Apa yang membeda langit dan senyummu jika seraya biru tenang menyelimuti tiap nadi #2 Akhirnya telah tiba waktunya Setelah lama-lama menyeka luka Pada kesejatian kita sanggup terpana Meskipun fana diterima sudah Kita berandai-andai menjadi paus biru Membiarkan tenggelam menuju samudera riuh Di pedalaman menebak jalan Tak sama lagi kita melihat rupa Di sana memahami Bukan saling pergi Tapi beranjak kita berjalan Meski ditempuh dalam perbedaan tujuan

Perjalanan

Sebab Puan, Dalam perjalanan adalah peluh Mari kayuh! Semoga angin dalam segala penjuru merubuhkan tanda tanyamu Setiap pandang mata yang kau lihat, hanyalah gelap Mari terang! Lekas yang tak kau lihat berikan kehangatan Pada diam atau segala ekstase kemuramanmu Blablablabla 28.05.09

Insan Tak Berkasih

Atas nama doa dari segala penjuru, Ku khidmat kan lantunan kidung sebuah nama, Perapian kota membungkam ekstase qalbu, Ku lepaskan debur yang membungkam syawaq, Agar ia berkicau di antara resah gelisah, Pada namamu diriku terantai cinta, Tak tega mengusik kisah yang lama bertuan, Ku sibakkan angin dan langit, Namun ia tetap mengikuti, Biar rindu bersemayam menjadi tanda kasih tak berpuan, Hingga insan menabur kasih. 27.05.19

Merebah Semesta

Ku ingin rebahkan segala peluh dalam rusuk, Namun semesta berbisik tanya, Mengapa angin selalu membawa qalbu menjadi pilu? Inikah akhir dari siasat kisah? Hanya menunggu lambaian angin menyentuh nyiur pantai, Menjadi beliung luka yang memporak-poranda. Akankah nanti angin bersemai dengan nafasku? Baik, dan mengalir bagai nadi? Ku ingin sekali lagi, rebahkan kembali peluh agar ia berdamai menjadi rindu. 25.05.19

Hari ini 22 Mei,

Jemari kaku dan hilang, semua badan begitu ringan. Tidak, tidak karena aku baru saja memenangkan lotere. Tapi lebih dari itu, aku merasa sedang tenggelam begitu dalam. Nafas sesak dengan semangat bernafas yang menipis. Jika cinta mampu membuat manusia membuat sejarah maka, sejarah ini adalah sebuah wahana singkat. Angin malam tiba-tiba menjadi lebih dingin dari biasanya dan sesak begitu dalam. Aku kira kau pohon rindang yang ku temukan di tengah-tengah labirin hutan kecemasan. Pohon itu lebih rindang dari Camar dan dihiaskan permadani di pucuknya, begitu elok. Ada juga burung-burung bersiul di atasnya menyanyikan sebuah nama yang entah siapa pemiliknya. Baru saja aku tertidur, tiba-tiba pohonku pergi hilang entah kemana. Tersisa hanya ranting dan sepucuk surat kegentingan. Aku berada di padang pasir penuh dengan kekosongan. Malam itu runtuh seketika, bahkan merobek cakrawala akibat pohon tersebut. Apa dayaku, aku tidak bisa menjahitnya, karena ia begitu be

Alegori Pagi

Aku memandangmu dari kejauhan tanpa purnama, Lantas haruskah ku kayuh sepeda penuh gelap menerpa? Di kejauhan rindu bagai sampan tak bertuan, Apa dayaku kekasih? Di atas roda dua kini aku hanya mengayuh, Apa ia mendekat atau menjauhkan? Aku memandangmu yang berada di suatu rumah dengan pohon rindang besar di atasnya. Bolehkah ku ketuk? Sambil menikmati siul burung di depan rumahmu yang bagaikan kejora bersuara? Beberapa ranting berserak rumpah ruah, Apa kau mengalami kemarau? Tiada manis memangku engkau? Percayalah kekasih, semua yang di muka bumi ini  hanyalah lukisan-lukisan benakmu yang tak pernah tau apa hakikatnya. Inilah kemarau, rasa rindang yang kau campakkan Dini ini kian mengikis, meredupkan jiwa Tapi aku ingin sekali menjadi bagian siul indah di depan rumahmu, Percayalah, di dalam dirimu tak ku temukan kata manis, dan kamus tak mampu mengungkapkan kata yang lebih dari manis, Kau mengetahui inilah derma rasa, Pada penikmat subuh di pagi buta. 11.05.

Ngaji Filsafat ke-43 (Ibnu Khaldun)

Ngaji Filsafat ke-43 (Ibnu Khaldun) Oleh: FF Ibnu Khaldun terkenal dengan filsafat yang sudah membumi yaitu Filsafat Sejarah, serta Ilmu Sosiologi.  Pada ilmu sejarah kita memandang bagaimana penyampaian sejarah yang dilakukan oleh peradaban, siapa orang itu dan motif di dalamnya? Di dalam Sejarah terdapat unsur konten, setting, penyampai dan konteks. Di dalam sebuah peradaban kebudayaan menurut Ibnu Khaldun sudah Sunatullah bagaimana sebuah peradaban lahir, berkembang, berjaya dan  kembali menjadi lahir lagi (mati). Contohnya dalam masyarakat terdapat tipe masyarakat Badawi dan Hadori. Masyarakat Badawi seperti orang desa yang sifatnya blak-blakan, kohesif, lambat dan bebas. Masyarakat Hadori seperti orang kota yang memiliki banyak aturan-aturan sendiri dan banyak keinginan juga, memang masyarakat Hadori lebih maju dan gemerlap, tapi ia lebih tidak bebas dari masyarakat badawi karena globalisasi alias penerapan budaya populer, sehingga banyak masyarakat memiliki struktur cara berpi

Dini

Dini hadir di dalam kesunyian malam, Ada setapak jalan yang melekat di sinaran cahaya putih, Kau berjalan di tengah Trotoar, Aku menatapmu pasti dengan kedua relung yang berkecamuk, Hinggaplah kau diserap cahaya lampu-lampu, Pada mu ku jentikan segala resah, Kemudian jiwa bertuan pada cahayanya, Lalu kau perlahan menjadi genap, Dari segala diriku yang terlalu ganjil. 08.05.19

Segenap Risalah Khais

Di pertemuan rasa genap, Melingkar kilau kemilau jingga, Di matamu kulihat taman dan bunga dahlia bermekaran, Jika ini adalah risalah Majnun kepada Layla, Dalam relung pekat langit yang menjadikannya lembayung, Ku menari surga-surga keindahan tentang pandangmu pada semesta, Hingga anggur pun tak sanggup memabukkann insan yang mencintai, Pada Layla pujaan Khais, pertemuan adalah debur yang semakin membuat jiwa menggila, Di persimpangan malam perpisahan mata terjadi, Khais tetap menjamah tatap mata Layla hingga pagi menjadi tiada artinya lagi 04.05.19