Skip to main content

Hari ini 22 Mei,



Jemari kaku dan hilang, semua badan begitu ringan. Tidak, tidak karena aku baru saja memenangkan lotere. Tapi lebih dari itu, aku merasa sedang tenggelam begitu dalam. Nafas sesak dengan semangat bernafas yang menipis. Jika cinta mampu membuat manusia membuat sejarah maka, sejarah ini adalah sebuah wahana singkat. Angin malam tiba-tiba menjadi lebih dingin dari biasanya dan sesak begitu dalam.

Aku kira kau pohon rindang yang ku temukan di tengah-tengah labirin hutan kecemasan. Pohon itu lebih rindang dari Camar dan dihiaskan permadani di pucuknya, begitu elok. Ada juga burung-burung bersiul di atasnya menyanyikan sebuah nama yang entah siapa pemiliknya.

Baru saja aku tertidur, tiba-tiba pohonku pergi hilang entah kemana. Tersisa hanya ranting dan sepucuk surat kegentingan. Aku berada di padang pasir penuh dengan kekosongan. Malam itu runtuh seketika, bahkan merobek cakrawala akibat pohon tersebut. Apa dayaku, aku tidak bisa menjahitnya, karena ia begitu besar sedangkan aku? Hanya insan pecinta yang tidak perlu dicinta!!

Apalah aku?! Hingga pohon yang rindang pergi melintang tanpa sesuap kabar. Inilah perjalanan hidupku yang dikutuk untuk mengembara, mencintai tanpa harus merasakan kasih alam dan pepohonan indah itu. Dicintai, bagaimana rasanya? Kataku. Takdirku hanya bisa mencintai!!

Malam yang robek pun iba kepadaku, ia mulai mencoba menyambung cakrawala kembali dan berharap pria sepertiku bisa berbahagia. Sebab bagi malam, diriku hanyalah sebuah makhluk yang tugasnya mencintai, lalu kembali mengembara menuju labirin gurun pasir yang lebih hebat. Hanya malam temannya, dengan sedikit bintang. Semoga pria sepertiku bisa menemukan muara. Meskipun harus kembali bertemu dengan oase pilu.

Teruntuk pohon teduh yang berjalan singkat selama satu bulan ini. Sandaranmu menyadarkanku untuk istirahat di dalam sebuah roma dunia yang tidak bersahabat. Kini, pria sepertiku harus terjebak kembali. Terjebak untuk mengembara. Perjalananku belum usai, namun penantian ku semakin menipis. Terima kasih.

Surat ini aku persembahkan kepada Pohon rindang dengan selendang teduh di pucuknya, begitu juga burung-burung yang mengikuti engkau. Salam kasih serta rindu menyertai.
Aku selalu ada bersama tulisan-tulisan ini.
Jika boleh kutanyakan, apa alasan engkau pergi? Bisakah sedikit bisikmu menjelaskan ketidakberhargaan diri ini?

22 Mei 2019

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha...

Bagaimana Jika?

"BAGAIMANA JIKA?" Dari sekian banyak kata, istilah, dan elemen yang membentuk kalimat, makna, rasa, emosi, serta menjadi penghubung dari satu semesta (diri) ke semesta lain. Mungkin aku tak bisa merangkai kalimat yang lebih baik dari apa yang sedang terpikirkan, tapi kuharap kamu mengerti. Ada satu kata magis, menjelma udara malam yang menemani banyak aktivitas dengan tatapan kosong: termenung. Frasa ini menyelinap tanpa permisi ke setiap khayal, lalu membiarkan kita membangun berbagai skenario di dalamnya. Frasa "Bagaimana Jika?" selalu banyak kuterakan dalam pola komunikasi dan khayalku, seolah menggantikan tubuh ini melayang di antara jutaan bintang-bintang. Bagi orang kota, "Bagaimana Jika?" adalah sihir pengusir waktu—saat di dalam kereta, atau sekadar menuntaskan hajat di kamar mandi. Bagi para peneliti, frasa ini menjadi kelinci percobaan dalam menemukan tabir dunia yang belum terungkap, yang kemudian mereka abadikan dalam nama penemuan-...