Jemari kaku
dan hilang, semua badan begitu ringan. Tidak, tidak karena aku baru saja
memenangkan lotere. Tapi lebih dari itu, aku merasa sedang tenggelam begitu
dalam. Nafas sesak dengan semangat bernafas yang menipis. Jika cinta mampu
membuat manusia membuat sejarah maka, sejarah ini adalah sebuah wahana singkat.
Angin malam tiba-tiba menjadi lebih dingin dari biasanya dan sesak begitu
dalam.
Aku kira
kau pohon rindang yang ku temukan di tengah-tengah labirin hutan kecemasan.
Pohon itu lebih rindang dari Camar dan dihiaskan permadani di pucuknya, begitu
elok. Ada juga burung-burung bersiul di atasnya menyanyikan sebuah nama yang
entah siapa pemiliknya.
Baru saja
aku tertidur, tiba-tiba pohonku pergi hilang entah kemana. Tersisa hanya
ranting dan sepucuk surat kegentingan. Aku berada di padang pasir penuh dengan
kekosongan. Malam itu runtuh seketika, bahkan merobek cakrawala akibat pohon
tersebut. Apa dayaku, aku tidak bisa menjahitnya, karena ia begitu besar
sedangkan aku? Hanya insan pecinta yang tidak perlu dicinta!!
Apalah aku?! Hingga pohon yang rindang pergi melintang tanpa sesuap kabar. Inilah perjalanan hidupku yang dikutuk untuk mengembara, mencintai tanpa harus merasakan kasih alam dan pepohonan indah itu. Dicintai, bagaimana rasanya? Kataku. Takdirku hanya bisa mencintai!!
Malam yang robek pun iba kepadaku, ia mulai mencoba menyambung cakrawala kembali dan berharap pria sepertiku bisa berbahagia. Sebab bagi malam, diriku hanyalah sebuah makhluk yang tugasnya mencintai, lalu kembali mengembara menuju labirin gurun pasir yang lebih hebat. Hanya malam temannya, dengan sedikit bintang. Semoga pria sepertiku bisa menemukan muara. Meskipun harus kembali bertemu dengan oase pilu.
Apalah aku?! Hingga pohon yang rindang pergi melintang tanpa sesuap kabar. Inilah perjalanan hidupku yang dikutuk untuk mengembara, mencintai tanpa harus merasakan kasih alam dan pepohonan indah itu. Dicintai, bagaimana rasanya? Kataku. Takdirku hanya bisa mencintai!!
Malam yang robek pun iba kepadaku, ia mulai mencoba menyambung cakrawala kembali dan berharap pria sepertiku bisa berbahagia. Sebab bagi malam, diriku hanyalah sebuah makhluk yang tugasnya mencintai, lalu kembali mengembara menuju labirin gurun pasir yang lebih hebat. Hanya malam temannya, dengan sedikit bintang. Semoga pria sepertiku bisa menemukan muara. Meskipun harus kembali bertemu dengan oase pilu.
Teruntuk
pohon teduh yang berjalan singkat selama satu bulan ini. Sandaranmu
menyadarkanku untuk istirahat di dalam sebuah roma dunia yang tidak bersahabat.
Kini, pria sepertiku harus terjebak kembali. Terjebak untuk mengembara.
Perjalananku belum usai, namun penantian ku semakin menipis. Terima kasih.
Surat ini aku persembahkan kepada Pohon rindang dengan selendang teduh di pucuknya, begitu juga burung-burung yang mengikuti engkau. Salam kasih serta rindu menyertai.
Surat ini aku persembahkan kepada Pohon rindang dengan selendang teduh di pucuknya, begitu juga burung-burung yang mengikuti engkau. Salam kasih serta rindu menyertai.
Aku selalu
ada bersama tulisan-tulisan ini.
Jika boleh kutanyakan, apa alasan engkau pergi? Bisakah sedikit bisikmu menjelaskan ketidakberhargaan diri ini?
22 Mei 2019
22 Mei 2019
Comments
Post a Comment