Aku memandangmu dari kejauhan tanpa purnama,
Lantas haruskah ku kayuh sepeda penuh gelap menerpa?
Di kejauhan rindu bagai sampan tak bertuan,
Apa dayaku kekasih? Di atas roda dua kini aku hanya mengayuh,
Apa ia mendekat atau menjauhkan?
Lantas haruskah ku kayuh sepeda penuh gelap menerpa?
Di kejauhan rindu bagai sampan tak bertuan,
Apa dayaku kekasih? Di atas roda dua kini aku hanya mengayuh,
Apa ia mendekat atau menjauhkan?
Aku memandangmu yang berada di suatu rumah dengan pohon rindang besar di atasnya.
Bolehkah ku ketuk? Sambil menikmati siul burung di depan rumahmu yang bagaikan kejora bersuara?
Beberapa ranting berserak rumpah ruah,
Apa kau mengalami kemarau?
Tiada manis memangku engkau?
Percayalah kekasih, semua yang di muka bumi ini hanyalah lukisan-lukisan benakmu yang tak pernah tau apa hakikatnya.
Inilah kemarau, rasa rindang yang kau campakkan
Bolehkah ku ketuk? Sambil menikmati siul burung di depan rumahmu yang bagaikan kejora bersuara?
Beberapa ranting berserak rumpah ruah,
Apa kau mengalami kemarau?
Tiada manis memangku engkau?
Percayalah kekasih, semua yang di muka bumi ini hanyalah lukisan-lukisan benakmu yang tak pernah tau apa hakikatnya.
Inilah kemarau, rasa rindang yang kau campakkan
Dini ini kian mengikis, meredupkan jiwa
Tapi aku ingin sekali menjadi bagian siul indah di depan rumahmu,
Percayalah, di dalam dirimu tak ku temukan kata manis, dan kamus tak mampu mengungkapkan kata yang lebih dari manis,
Kau mengetahui inilah derma rasa,
Pada penikmat subuh di pagi buta.
Tapi aku ingin sekali menjadi bagian siul indah di depan rumahmu,
Percayalah, di dalam dirimu tak ku temukan kata manis, dan kamus tak mampu mengungkapkan kata yang lebih dari manis,
Kau mengetahui inilah derma rasa,
Pada penikmat subuh di pagi buta.
11.05.19
Comments
Post a Comment