"BAGAIMANA JIKA?"
Dari sekian banyak kata, istilah, dan elemen yang membentuk kalimat, makna, rasa, emosi, serta menjadi penghubung dari satu semesta (diri) ke semesta lain. Mungkin aku tak bisa merangkai kalimat yang lebih baik dari apa yang sedang terpikirkan, tapi kuharap kamu mengerti.
Ada satu kata magis, menjelma udara malam yang menemani banyak aktivitas dengan tatapan kosong: termenung. Frasa ini menyelinap tanpa permisi ke setiap khayal, lalu membiarkan kita membangun berbagai skenario di dalamnya.
Frasa "Bagaimana Jika?" selalu banyak kuterakan dalam pola komunikasi dan khayalku, seolah menggantikan tubuh ini melayang di antara jutaan bintang-bintang.
Bagi orang kota, "Bagaimana Jika?" adalah sihir pengusir waktu—saat di dalam kereta, atau sekadar menuntaskan hajat di kamar mandi. Bagi para peneliti, frasa ini menjadi kelinci percobaan dalam menemukan tabir dunia yang belum terungkap, yang kemudian mereka abadikan dalam nama penemuan-penemuannya. Sementara bagi penulis film, cerpen, puisi, atau karya seni apa pun, frasa ini bagaikan ombak, dan seniman adalah peselancar yang menyeimbangkan di atasnya.
"Bagaimana Jika?" dalam dunia tulis adalah sesuatu yang sangat metaforis sekaligus ironis. Jika kau menganggap setiap cerita romantis di buku-buku, film-film, atau media lainnya selalu berakhir indah—tentang pertemuan, perpisahan, lalu penyatuan—percayalah, itu adalah cerita pengalaman sang penulis yang rata-rata justru sebaliknya. Penulis kerap menggunakan frasa "Bagaimana Jika?" sebagai refleksi atas keputusan hidup di masa lalu.
Menurutku, karya yang bagus tidak lahir dari jiwa yang bahagia; ironis memang. Ambil contoh para pemain band tersohor pun, karya mereka takkan lebih bagus saat mereka masih merintis.
"Bagaimana Jika?" adalah samudra luas untuk menisbikan diri, menyelam bebas dari bentuk materialistik yang mengikat. Ia adalah nyiur yang melegakan dahaga, dalam obrolan kegamangan zona sosial yang asing, saat bertemu orang baru, dan saat menciptakan komedi situasi.
Dalam kesendirian, frasa ini terasa seperti pelukan hangat Ibu saat pulang ke rumah. Ia menjembatani setiap episode memori masa lalu ke masa kini, menjadi cahaya lilin yang mengingatkan kisah lampau dalam menentukan jalan hidup.
"Bagaimana jika aku tidak mengambil jurusan seni?"
"Bagaimana jika aku melanjutkan kuliah?"
"Bagaimana jika aku menjadi penulis?"
Di sana, cerita menjadi lebih jelas. Dalam kepala, setiap fragmen terbentuk, tersusun menjadi cerita fiksi. Aku kadang berpikir, setiap "Bagaimana Jika?" yang tercipta dalam kepala, ia kemudian menjadi jalur alternatif kehidupan di dunia paralel lain; ia hidup dan berproses, sama seperti tubuh kita di sini.
Frasa ini juga hidup dalam beberapa makna, tergantung bagaimana kita memaknainya: harapan, fiksi, dan penyesalan.
Jadi, "BAGAIMANA JIKA?"
Comments
Post a Comment