Skip to main content

Saya dan Jakarta II


Dari cerita kemarin saya sempat merasa putus asa untuk tinggal lama di kota ini. Tugas kuliah memaksa saya untuk tetap bertahan beberapa bulan kedepan. Saya sudah acap kali bosan dengan suasana macet di sini yang tak tentu waktu dan tempat. Saat saya berkendara motor di jalanan sudah tidak asing dengan klakson yang berdering dimana-mana, padahal jalanan macet, tapi semua orang seperti dikejar setan. Buru-buru ke tempat kerjaan dan melupakan orang sekitar, toh mugkin orang sekitarpun tidak memikirkan satu sama lain juga. 

Banyak “binatang” di jalanan jika kita menyenggolnya tanpa sengaja maupun sengaja. Angkot yang berhenti di tengah jalan padahal ada rambu dilarang stop, dan parahnya lagi ada salah satu aparat tidak jauh dari situ hanya mengayun-ngayunkan tangan, hmm saya berpikir positif memang sedang memperbolehkan angkot mangkal. Ah, kembali lagi saya rasa memang kota ini bukan untuk merasakan romantismenya, tapi hanya untuk dikeruk nilai-nilai materialnya.

Baru saja saya menemukan artikel berita yang berhubungan dengan macetnya kota Jakarta. Isinya tentang wakil gubernur memberikan respon peraturan di suatu poros jalan yang tidak boleh dilewati oleh kendaraan bermotor dua. Hal ini menjadi perhatian saya terhadap kemacetan yang melanda. 



Dari berita di atas ada salah satu alasan mengapa kendaraan bermotor dilarang memasuki jalan.

"Contoh misalkan, saya bilang nanti akan kita resmiin ya jembatan Simpang Susun Semanggi. Motor boleh nggak masuk ke situ? Kalau masuk ke situ bahaya, apalagi masuk di tengah-tengah itu kan pinggir tol, selfie di situ, iya nggak?" Gubernur Djarot DKI (sumber detik).

Yap, semakin banyaknya jalan bukan berati mengurai kemacetan, sudah diamini oleh Gubernur Jakarta. Selfie dan kemiringan jalan menjadi alasan mengapa kendaraan bermotor dilarang masuk ke jalan-jalan tertentu. Tentu saya pikir ini jawaban yang sebenarnya bisa diselesaikan oleh pemerintah juga. Tapi saya akan membahas bagaimana pengalaman saya saja.

Beberapa hari sebelum mulai mengunakan motor, saya diboncengi oleh kawan baru saya dari tempat kerja. Kebetulan saya menumpang untuk mencapai stasiun terdekat (irit ongkos hehe). 

Baru beberapa ratus meter keluar dari kantor sudah nampak kemacetan mengulur panjang, untung saja teman saya mempunyai bakat menyalip. Sepanjang jalan saya banyak melihat ke dalam mobil-mobil yang menunggu kemacetan. Di dalamnya rata-rata saya melihat hanya satu orang (mungkin pulang kerja) saya heran dan kemudian memulai obrolan dengan teman saya.

“Banyak yang bawa mobil padahal isinya satu orang, emang orang di dalemnya ga capek apa ya? Mungkin ini nih penyebab orang-orang pada stress ” kata saya.

“Yah emang begitulah, gw juga kadang heran padahal macet tapi orang-orang yang bawa mobil ga ada bosan-bosannya membawa mobil ke kerjaannya” timpal dia menandakan sudah sering melihat pemandangan seperti ini.

Saya melihat seperti ada anomali terhadap berita tadi dengan fakta pemandangan yang saya lihat. Kendaraan bermotor seperti kambing hitam atas kemacetan di Ibukota. Memang, kendaraan bermotor juga ada oknumnya yang sering melanggar peraturan demi keegoisannya sendiri. Saya hanya sedikit heran tentang peraturan dan penerapan pelarangan, bukan kah mobil memakan ruas jalan yang lebih banyak daripada motor? Mengapa harus seperti ada pengkotak-kotakan dalam berkendara, atau memang ini cara yang cocok untuk mengurai kemacetan? Menurut saya ini tidak tentu cocok karena baik kendaraan bermotor atau bermobil tidak harus saling melarang, mungkin saya kira yang jadi masalahnya adalah kendaraan pribadi itu sendiri dan regulasi pemerintah terhadap kepemilikan kendaraan.

Pelarangan kendaraan bermotor pada ruas jalan tertentu mengakibatkannya kecemburuan sosial terhadap sesama pengguna jalan publik. Saya selama pulang dari kantor selalu memikirkan apa yang membuat salah atau apa solusi yang baik? Mungkin saya memang warga kecil numpang di kota ini, tapi saya suka sekali berimajinasi terhadap situasi di sekitar saya.

Fakta yang terjadi karena kendaraan semakin tahun semakin bertambah tapi tidak sembanding dengan menambah atau meluasnya ruas jalan Jakarta menjadi salah satu penyebab kemacetan di Ibukota.

Saya sempat berpikir pengaturan regulasi mulai dari kepemilikan kendaraan pribadi sampai edukasi pengendaranya. Jadi setiap warga Jakarta memiliki sebuah “kartu” atau sebuah penanda penentuan batas kepemilikan kendaraan, dengan jangka pajak yang tergolong singkat (10 tahun ke bawah*), misal dalam satu keluarga terdapat sebuah “kartu” untuk memiliki kendaraan pribadi dengan maksimal 1 mobil 2 motor (jika masih tergolong banyak masih bisa diatur). Jadi dengan pengaturan seperti ini lebih bisa terorganisir dan meminimalisir kemacetan. Bagaimana dari luar Jakarta? Mungkin bisa dibuat kerjasama perusahaan dengan pemerintah jika syarat dalam bekerja di Jakarta harus memiliki “kartu” tersebut, atau adanya pembatasan waktu dalam penggunaan kendaraan pribadi (tergantung waktunya bisa disesuaikan). Oh iya dan satu lagi, batas umur kendaraan yang lalu lalang di Ibukota bisa menjadi pembatasan untuk mengurangi volume kendaraan.

Hal ini perlu persiapan dari berbagai lembaga, kesadaran mental masyarakat, dan pemerintah. Karena dengan adanya pembatasan mungkin pemasukan pajak jadi berkurang. Saya tidak tahu hal tersebut menjadi kekurangan imajinasi saya atau bukan, tapi saya pikir dengan adanya hal tersebut baik kaum burjois dan proletar dapat sedikit keadilan di jalanan, dan juga penggunaan pajak bisa dialihkan ke bentuk pembangunan yang lain selain membangun atau memperluas jalanan (jika jalanan sudah mulai kondusif). Tentu juga ada penambahan program lain yang membantu menguraikan kemacetan, dari masalah urbanisasi, penambahan angkutan umum murah meriah, sepeda gratis di berbagai simpang jalan untuk bekerja, dan pengamatan pada oknum-oknum.

Di bulan ini tepat mendekatnya hari lahir Indonesia ke 72, semua masyarakat berbagai lapisan di Indonesia khususnya Jakarta. Ingin merasakan sebuah kemerdekaan dalam bentuk sekecil apapun, kemerdekaan ialah kebebasan tanpa ada rasa tersakiti atau terjajah di dalamnya. Termasuk di jalanan, dalam pembagian jalan khusus menurut hemat saya menjadi sebuah ketidakadilan dalam berkendara. Tapi apalah daya saya, hanya anak muda Indonesia yang hanya bisa berimajinasi dan memiliki ide, jadi mungkin ide saya bisa menjadi benar atau salah. Meskipun begitu dengan program pemerintah di Jakarta saat ini, saya berharap memang benar-benar memberikan dampak positif pada masyarakatnya, dan tidak mengorbankan salah satu pihak demi menguraikan berbagai masalah. 
Begitulah kehidupan para manusia-manusia dewasa, menjadi dewasa memang sulit meskipun memiliki kebebasan tersendiri. Waktu memaksa manusia menjadi tua tapi belum tentu dengan pikirannya, mau tidak mau harus dewasa. Selamat menunaikan aktivitas kefanaan. Mungkin saya akan menambah curhatan lagi, untuk saat ini saya udahi dulu.

Selamat malam.







Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d