Skip to main content

Pranaris Luna





Seperti malam kemarin, malam tahun lalu, bahkan malam saat pertama kali aku duduk di kursi malas ini, beserta segelas kopi manis sambil mencoba bermalas-malasan. Tetapi tidak bisa, malam ini langit terlalu menggodaku untuk terus menatap semburat kebiruan bagai samudera yang telanjang memamerkan keindahan lekuk tubuhnya, cahayanya menerpa wajahku. Ada ribuan? jutaan? Entah berapa banyak bintang putih berpendar tersebar mengalungi langit itu, begitu damai, tenang, namun juga menitip asa yang tak pernah terpuaskan. Mungkin bulan purnama di atasnya menjadi tiang penopang di mana langit itu berdiri.

Bukan itu saja, malam ini juga aku diperhatikan oleh hamparan luas sawah hijau yang terlihat karena cahaya rembulan yang begitu terangnya. Dari ujung timur sampai ujung barat, mereka menyaksikanku, seperti menonton pertunjukkan opera yang penuh haru biru. Di tambah, kunang-kunang menari asyik terbang dengan pendaran cahaya pada tubuhnya. Aku kira dia sama seperti bintang di atasnya, tapi ukurannya lebih kecil. Mereka menari kesana-kemari mengolok-olokku. 

Mungkin kamu tidak percaya tentang apa yang terjadi malam ini, aku menyaksikan bagaimana bulan termangu karena perlahan cahaya pelangi muncul melingkar dihadapannya. Elok sekali, Aku lihat dengan jelas itu pelangi!! Pelangi yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Malam gagah pun tunduk pada merah, jingga, dan semua warna yang menyertainya. Jika kamu sekarang berada di sampingku, melihat langit malam ini. Mungkin kita merasa gila bersama. Tapi ini cukup jelas!! Sampai orang-orang desa pun keluar dari rumah masing-masing, mereka melihat pelangi itu sambil tertawa terbahak-bahak, mengejek pelangi yang melingkar pada rembulan. Apa yang terjadi dengan mereka? 

Aku gusar, lalu berinisiatif untuk menutup pelangi itu dengan kain sutra biru tebal yang tergantung di jemuran halaman rumahku. Aku melompat ke sawah mencoba berlari, mendekat ke bulan dan pelangi itu berada, kurang lebih tingginya hanya sebesar lima jengkal jari dari kepalaku. Tapi aku rasa ini bukan masalah tinggi bulan itu berada, hanya jauhnyalah yang tidak pernah kuketahui. Aku berlari melangkah tanpa melihat jalan setapak sawah , kaki ini kena lumpur, kadang aku terperosok jatuh karena mataku tidak meraba pada jalan setapak sawah. Atau mungkin aku terlena karena langit malam begitu hampir sempurna dengan hamparan bintang serta rasi-rasi, purnama yang cukup terang menerangi malam ini, apalagi pelangi melingkar manis di sekelilingnya. 

Di tengah perjalanan. ada kunang-kunang mendekat kearahku, mencoba akrab padaku, atau mungkin iba karena bajuku telah lusuh ditelan lumpur, sehingga aku seperti Qays yang lapar di tengah gurun pasir hanya demi menjemput seorang Layla terindu.

“Hey kau, mengapa begitu memaksa hingga keringatmu menyatu dengan lumpur sawah ini..” 

Aku diam enggan menjawab, karena sibuk merapihkan serta melipat sutra biru dan meletakkan di atas kepalaku sebagai tumpuan.

“Sudahlah, menyerah saja. Tiada mungkin engkau bisa bersahaja bersama bulan dan pelangi yang kau tatap sekarang. Di sana persis saat kau lihat sekarang, itu adalah cintaa, bodoh!!”

Gila! Apa lagi ini..? serangga seperti kunang-kunang pun berbicara tentang cinta. Dunia semakin gila, tahu apa dia soal cinta, tahu apa?? Dan dia bilang cinta itu berwujud seperti bulan dan pelangi?! Gila!

Banyak orang di luar sana berbicara tentang cinta, buku-buku tentang cinta, dari ilmiah sampai fiksi-fiksi lemah. Dari hitler sampai julio caesar, dari kahlil gibran sampai rumi. Mereka berkata cinta, cinta, dan cinta!! Memang wujud cinta itu seperti apa? Ada anak muda membicarakannya, tapi mereka berkata tidak pernah melihat wujudnya, membicarakannya di taman kota, jalan-jalan, gang-gang kecil hingga bermalam minggu duduk santai di angkringan. Mereka hanya berani membicarakannya berbisik-bisik seperti melihat hantu. Mereka dihantui oleh cinta.

Jika kau membaca kisah ini perempuanku entah kau yang berada di dalam sini maupun di luar sana. Percayalah aku tidak mengada-ada, ini awal pertemuan bagaimana sampai sekarang aku bisa tergila-gila padamu, melihat senyummu bak purnama dan pipimu merah ketika ku curi pandang kau dari jauh.

“Hey menyerah sajalah, kau tidak mungkin bisa sampai ke sana..!”

Aku tidak peduli pada bualan kunang-kunang itu, ku berlari melanjutkan perjalanan. Tapi, meskipun aku tinggalkan dia, entah mengapa kalimat-kalimat itu bagai peluru yang menghujam di dalam benak. Ketika ku berlari kulihat di depan terdapat tebing tinggi menjulang keatas, sangat curam. Sampai di sana aku mencari cela untuk menaiki tebing curam tersebut. Tebing itu penuh batu-batu tajam seperti karang tajam di pantai. Paksa diri membuat keinginan hati enggan untuk menolak, meski perih tangan, luka darah meminta keluar dari balik kulit, tidak ingin semua ini menjadi sia-sia. Tidak disadari puncak telah ku gapai. Di Puncak tidak ada rerumputan hanya ada tanah tandus dan beberapa pohon berjejer tumbuh melindungi memeluk satu sama lain. Tak sadar sedari tadi ada seorang pemuda dengan topi anyaman bambu berbentuk bulat sedang duduk meratapi pilu, entah karena apa penyebabnya.

“Jika kau punya nyali, cukuplah bersamaku mari kita nikmati hamparan ladang sawah penyebab roma ini merinding, dari pada kau harus bersusah payah menjemput rindu tepat di belakangku kini.”

Dia memang duduk persis membalikkan tubuhnya, dari keindahan hampir sempurna karena semburat cahaya langit serta rasi-rasi bintang bergelantungan di atas, bahkan purnama sepertinya akan ia tolak untuk membuatnya menoleh. Aneh sekali dia, malah memandang hamparan sawah dengan keindahan semu. Bahkan kunang-kunang tadi yang ku temui seperti dirinya.

Tapi tunggu dulu, rindu?! Pemuda itu bilang rindu? Rindu yang berwujud? Ahh tak mungkin, aku pun sedang merindu tapi tak pernah kulihat purnama yang di kelilingi pelangi dalam kamarku. Jika saja rindu seperti itu, harusnya setiap hari aku melihatnya, bahkan saat fajar meminang langit dan siang merontokkan daki. 

“Rindu yang berada tepat di belakangku kini, membuat waktu dan ruang sepakat untuk memusuhi manusia. Mereka mencoba mencari cara untuk membuat kamu mati dalam kerinduan. Aku pernah menjadi payung ketika yang tersayang runtuh di guyur hujan, begitu mendamaikan hati. Seiring waktu berjalan jauh, aku dianggap hujan olehnya, karena pipinya yang kering mulai basah karena air suci mulai turun dari matanya, menjadi deras sebab waktu mulai tidak bersahabat pada dia. Aku seperti penjahat ulung tapi tidak sengaja menggores luka batinnya. Lebih baik aku menjelma menjadi bunga mawar sebab mawar itu mampu menghapus duka melalui seseorang lain yang lebih baik dariku. Maka setelah itu, aku bertemu dengan malam ini percis seperti engaku berdiri mengejar bulan dan pelangi. Tapi aku sungkan untuk memetiknya di atas sana, aku takut indahnya langit malam ini tidak bisa kunikmati kembali, maka tenggelamlah aku dalam kerinduan tanpa batas. Berusaha membenci tapi.. tapi.. tapi bahkan aku tidak tahu ini benci atau rindu!!”

Pemuda malang, curahan hatinya harus ditumpahkan di dunia semu ini, dunia bermuka dua, dunia tidak kenal teman, dunia yang hanya mengenal keakuan. Aku hanya tersenyum tidak berarti acuh padanya. Aku pun iba, tapi jika aku iba, lalu siapa yang iba kepadaku? Tidak..tidak.. aku tidak boleh mengiba pada apa-apa. 

Teruntuk perempuanku sekali lagi, baik kau yang ada di dalam maupun di luar sana. Percayalah ini sungguh benar, aku mengenal rindu darinya. Aku tahu, nasibku hampir sama seperti pemuda bertopi anyaman bambu. Aku jadi ingat dimana perlahan kita mulai mengenal dan berjalan bersama, kau di depanku berjalan sambil bersiul ria. Aku hanya diam bibirku enggan mengusik suara alam yang berbaur pada siulanmu. Ku tatap pasti kedua matamu, tidak!! lebih tepatnya ku curi pandang padamu biar orang lain tidak boleh mencurinya. Biar kujelaskan, matamu tajam laiknya elang tapi dibalut oleh tatapan lembut merpati, aku rindu melihat cara jalanmu berjalan atau bahkan bagaimana engkau bisa mencuri perhatianku. Sekali lagi, mungkin kita merindukan kembali kenangan itu dan berandai-andai kita bercakap sampai mati kebosanan. Semilir udara barat yang merontokkan dedaunan entah dari pohon mana, mulai menyadarkanku kembali. 

Aku bergegas kembali berlari menuju bulan yang berdiri tegak serta pelangi yang semakin cantik kulihat. Semakin dekat aku terpana, karena semburat cahaya langit seperti memeluk jiwa-jiwa perindu seperti aku. Aku heran, mengapa orang-orang di luar sana malah menertawakannya. Lalu, aku bergegas mengibaskan kain sutra biru tebal yang kubawa. Saat aku tutupi pelangi dan bulan di atas, secara perlahan pelangi itu mulai redup dan semakin redup ketika aku berusaha menutupinya. Saat itu pula kainku enggan untuk menggantung, karena bias pelangi dengan warnanya sudah pudar. Ku lihat dari ujung dimana tepat di sisi bulan yang berjarak lima jengkal jari tangan. Orang-orang di luar sana mulai masuk kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka melakukan aktivitas seperti biasanya, seperti tidak dirasuki apa-apa. 

Aku kecewa? Mungkin iya, karena tak sempat ku lindungi dia dari olok-olok dunia yang tak tahu arti keindahan. Tapi perlahan aku mulai menyadari kekekalan itu tidak ada pada wujud, mereka akan mati seiring nyawa meninggalkan raga. Kekekalan cinta maupun rindu hanya melekat pada jiwa, melekat pada ujung hati dan bersinggasana di sana. Tidak ada orang yang mengetahui, aku pun tidak. Orang besar di luar sana, maupun pemuda yang membicarakan cinta layaknya hantu. Biarlah mereka meraga seperti itu, dan tetaplah seperti itu.

Saat aku mencoba merapihkan kain sutra biru, terdapat cincin menyangkut di sela-sela kain. Ah bahagianya.. itu sudah cukup aku jadikan bukti untuk perempuanku bahwa ini kejadian benar adanya. Cincin melingkar indah, entah mengapa saat ku tatap seperti pertama kali aku melihat pelangi yang baru saja pudar.

Perempuanku yang manis, manis, dan tetap manis. Baik di dalam sini maupun di luar sana. Pada saatnya tiba akan kuberikan cincin ini dan kau akan merasakan betapa indahnya malam itu dan nyaris sempurna. Kau akan menghirup udara timur ini begitu hangat, melihat semburat langit biru, taburan cahaya bintang membentuk rasi-rasi serta, bagian terpenting adalah pancaran pelangi melingkari purnama. Meski aku juga tidak tahu pada siapa nanti kau melihat langit yang persis aku lihat kemarin. Percayalah kau pasti akan terlihat cantik dan lebih cantik.

Dari seseorang yang ingin membuatmu bahagia, serta salam rindu di dalamnya. Dan menulis pengalaman ini tepat dibawah gubuk sunyi di sudut Yogya, Mredo.

15 Maret 2016.

Herlambang Setia Aji 



Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d