Skip to main content

Ingatan Film Pendek: Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2020)



Ingatan Film Pendek: Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2020)
Dir: Wregas Bhatuneja

Sebelumnya terimakasih buat @gengnonton dan @narasi uda datengin film alternatif setelah banyak mengisi konten-konten film komersil. Sialnya menjadi tanggapan positif begitu melihat banyaknya penikmat film alternatif hingga ruangan terasa sempit. Mungkin kedepannya bisa dilanjutkan kembali agendanya, dan semoga ada pemutaran khusus buat teman-teman narasi juga yang selalu berada di belakang penonton lain (karena mereka tamu) hehehe..sakses..

Balik ke dunia imaji Wregas dengan perkenalan dua film dalam pemutaran tersebut, Prenjak dan Tak Ada yang Gila di Kota ini. Namun sayang daku hanya bisa menikmati pada sesi film ke dua. 

Film tersebut merupakan alih wahana/ekranisasi dari cerpen Eka Kurniawan. Saduran cerdik terlihat bagaimana Wregas meng-intrepretasikan karya Eka menjadi sajian lain di mana itu masuk ke dunia Wregas itu sendiri, dari mulai bahasa, lokasi dan penerjemahan visual. Lagipula saya belum baca cerpen dari Eka Kurniawan itu sendiri :3

Mengenal Wregas sebelumnya dari film Lemantun karya Tugas Akhir yang di putar di layar-layar Jogja, membahas suatu isu kedekatan keluarga. Di film ini Oka Antara menjadi sosok sentral dalam membawa tiap permasalahan film muncul, yaitu melalui karakter dia sendiri. Penerjemahan shot pendekatan Full Shot dan Eye Level membawa medium teater ke sebuah karya visual, sehingga penonton merasakan "kesetaraan" dengan suasana/tokoh pada film tersebut. Film yang minim dialog ini justru lebih banyak menceritakan banyak hal melalui aksi-demi aksi karakter, penerjemahan "show" yang baik.

Bercerita sekelompok instansi (baju pantai) yang menertibkan orang-orang gila dari kota kemudian dibuang ke hutan. Marwan (Oka Antara) menjadi salah satu karakter yg diperlihatkan karena begitu terombang-ambing dalam pendirian/naif (?). Dalam pekerjaan ia begitu profesional namun juga memanfaatkan segala kemungkinan yang ada demi kebutuhan rumah tangganya. Fenomena orang gila dibuang merupakan fakta di Pulau Jawa ketika RSJ sudah tidak muat menampung orang-orang gila, dan membuangnya ke hutan lalu kemudian mati dengan sendirinya. Selebihnyaaa klean bisa nonton ajeee di kesempatan yang lain yakkk....

Sekarang sedikit serius...Jengjengjeng!!!
Dari sequence pertama sampai akhir terdapat bahasa simbolis menarik, kalo ini sih interpretasi saya dalam menjangkau bahasa visual yak.. kalo ada kekurangan monggo dikasih tambahan lain agar menarik. Hal pertama dalam mise en scene ke satu di mana orang gila mula-mula tertangkap oleh suatu instansi memakai baju pantai (santai?) dengan penggunaan shot teater (eye level) memperlihatkan realitas lain. Instansi tersebut menggambarkan ramah dan santainya ia menjadi bagian dalam kelompok yang lebih besar (pekerja nyaman) yang menangkap orang gila (katanya). Orang gila ini menjadi penggambaran manusia-manusia naif asli yang harus ditangkap dan digusur pada daerah asalnya. Penggambaran di buang ke hutan menjadi sebuah wacana tempat baru di mana orang-orang gila tersebut tidak bisa beradaptasi. Karena tempat bukan hanya soal geografis tapi ada simbiosis mutualisme alam terhadap tumbuh kembangnya manusia yang telah lama tinggal. Dunia imaji Wregas menjadu liar manusia menjadi seperti kepentingan sendiri-sendiri ibarat berkata "Gue bermoral untuk lingkungan diri gue sendiri".

Ternyata instansi tersebut mengakar ke bawah ternyata dimiliki orang bapak-bapak yang koleganya orang native (asing) yang sedang berenang. Hal menariknya kembali, bule-bule dan bapak-bapak yang berpesta berenang di kolam renang yang background nya laut. Di mana dalam dunia mekanis atau manusia yang sudah bisa menciptakan rekaan ciptaan Tuhan menikmati buatannya sendiri (Penolakan terhadap Alam sebab Manusia sudah bisa menciptakan "Alam" sendiri).

Ada lagi ketika Marwan suka sekali makan mie goreng, menggambarkan kelas dan sesuatu yang dimakan manusia sudah berbentuk sintetis (sama halnya kolam renang). Alam sudah tidak terikat pada manusia, budaya patriarki yang begitu kental dari awal sampai menuju akhir.

Apalagi ada sebuah pesta topeng di mana orang-orang gila tersebut di manfaatkan. Ini seperti gambaran bagaimana orang native memandang bangsa lain di bawahnya namun tidak serta merta membenci. Ada satu adegan unik bagaimana bule make topeng yang meminta maaf oleh Ibu-ibu pribumi. Di sini dibayangkan bagaimana Bapak Cowok (Patriarki) meminta maaf kepada alam Ibu (Matriarki) terhadap semua yang diperbuatnya, atau bisa disebut kerinduan yang mendalam bagaimana manusia menyatu dengan alam. Tapi penggunaan topeng ini ibarat seperti formalitas hipokrit yaitu ketiadaan ketulusan.

Melekat di Ending bagaimana Marwan dan Istrinya menikmati kolam renang diam-diam, kemudian mengencingi kolam renang, duhh itu epik sih. Capek ngomong.. tapi film ini bagus, dan menggambarkan keliaran manusia (anarkisme {?})
Terimakasih

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d