Dir: Wregas Bhatuneja
Sebelumnya terimakasih buat @gengnonton dan @narasi uda datengin film alternatif setelah banyak mengisi konten-konten film komersil. Sialnya menjadi tanggapan positif begitu melihat banyaknya penikmat film alternatif hingga ruangan terasa sempit. Mungkin kedepannya bisa dilanjutkan kembali agendanya, dan semoga ada pemutaran khusus buat teman-teman narasi juga yang selalu berada di belakang penonton lain (karena mereka tamu) hehehe..sakses..
Balik ke dunia imaji Wregas dengan perkenalan dua film dalam pemutaran tersebut, Prenjak dan Tak Ada yang Gila di Kota ini. Namun sayang daku hanya bisa menikmati pada sesi film ke dua.
Film tersebut merupakan alih wahana/ekranisasi dari cerpen Eka Kurniawan. Saduran cerdik terlihat bagaimana Wregas meng-intrepretasikan karya Eka menjadi sajian lain di mana itu masuk ke dunia Wregas itu sendiri, dari mulai bahasa, lokasi dan penerjemahan visual. Lagipula saya belum baca cerpen dari Eka Kurniawan itu sendiri :3
Mengenal Wregas sebelumnya dari film Lemantun karya Tugas Akhir yang di putar di layar-layar Jogja, membahas suatu isu kedekatan keluarga. Di film ini Oka Antara menjadi sosok sentral dalam membawa tiap permasalahan film muncul, yaitu melalui karakter dia sendiri. Penerjemahan shot pendekatan Full Shot dan Eye Level membawa medium teater ke sebuah karya visual, sehingga penonton merasakan "kesetaraan" dengan suasana/tokoh pada film tersebut. Film yang minim dialog ini justru lebih banyak menceritakan banyak hal melalui aksi-demi aksi karakter, penerjemahan "show" yang baik.
Bercerita sekelompok instansi (baju pantai) yang menertibkan orang-orang gila dari kota kemudian dibuang ke hutan. Marwan (Oka Antara) menjadi salah satu karakter yg diperlihatkan karena begitu terombang-ambing dalam pendirian/naif (?). Dalam pekerjaan ia begitu profesional namun juga memanfaatkan segala kemungkinan yang ada demi kebutuhan rumah tangganya. Fenomena orang gila dibuang merupakan fakta di Pulau Jawa ketika RSJ sudah tidak muat menampung orang-orang gila, dan membuangnya ke hutan lalu kemudian mati dengan sendirinya. Selebihnyaaa klean bisa nonton ajeee di kesempatan yang lain yakkk....
Sekarang sedikit serius...Jengjengjeng!!!
Dari sequence pertama sampai akhir terdapat bahasa simbolis menarik, kalo ini sih interpretasi saya dalam menjangkau bahasa visual yak.. kalo ada kekurangan monggo dikasih tambahan lain agar menarik. Hal pertama dalam mise en scene ke satu di mana orang gila mula-mula tertangkap oleh suatu instansi memakai baju pantai (santai?) dengan penggunaan shot teater (eye level) memperlihatkan realitas lain. Instansi tersebut menggambarkan ramah dan santainya ia menjadi bagian dalam kelompok yang lebih besar (pekerja nyaman) yang menangkap orang gila (katanya). Orang gila ini menjadi penggambaran manusia-manusia naif asli yang harus ditangkap dan digusur pada daerah asalnya. Penggambaran di buang ke hutan menjadi sebuah wacana tempat baru di mana orang-orang gila tersebut tidak bisa beradaptasi. Karena tempat bukan hanya soal geografis tapi ada simbiosis mutualisme alam terhadap tumbuh kembangnya manusia yang telah lama tinggal. Dunia imaji Wregas menjadu liar manusia menjadi seperti kepentingan sendiri-sendiri ibarat berkata "Gue bermoral untuk lingkungan diri gue sendiri".
Ternyata instansi tersebut mengakar ke bawah ternyata dimiliki orang bapak-bapak yang koleganya orang native (asing) yang sedang berenang. Hal menariknya kembali, bule-bule dan bapak-bapak yang berpesta berenang di kolam renang yang background nya laut. Di mana dalam dunia mekanis atau manusia yang sudah bisa menciptakan rekaan ciptaan Tuhan menikmati buatannya sendiri (Penolakan terhadap Alam sebab Manusia sudah bisa menciptakan "Alam" sendiri).
Ada lagi ketika Marwan suka sekali makan mie goreng, menggambarkan kelas dan sesuatu yang dimakan manusia sudah berbentuk sintetis (sama halnya kolam renang). Alam sudah tidak terikat pada manusia, budaya patriarki yang begitu kental dari awal sampai menuju akhir.
Apalagi ada sebuah pesta topeng di mana orang-orang gila tersebut di manfaatkan. Ini seperti gambaran bagaimana orang native memandang bangsa lain di bawahnya namun tidak serta merta membenci. Ada satu adegan unik bagaimana bule make topeng yang meminta maaf oleh Ibu-ibu pribumi. Di sini dibayangkan bagaimana Bapak Cowok (Patriarki) meminta maaf kepada alam Ibu (Matriarki) terhadap semua yang diperbuatnya, atau bisa disebut kerinduan yang mendalam bagaimana manusia menyatu dengan alam. Tapi penggunaan topeng ini ibarat seperti formalitas hipokrit yaitu ketiadaan ketulusan.
Melekat di Ending bagaimana Marwan dan Istrinya menikmati kolam renang diam-diam, kemudian mengencingi kolam renang, duhh itu epik sih. Capek ngomong.. tapi film ini bagus, dan menggambarkan keliaran manusia (anarkisme {?})
Terimakasih
Comments
Post a Comment