Dir. Archie Hekagery
Sinema Sulawesi kembali mengeluarkan tajinya dengan dalam kancah Nasional. Bagaimana Sulawesi sudah dipantau sejak beberapa tahun lalu dunia sinema lokalnya bertumbuh baik. Tarung Sarung diharapkan menjadi sebuah sajian lokal yang khas dengan mengangkat tradisi Sulawesi itu sendiri.
Bercerita tentang Deni Ruso seorang anak super tajir di Jakarta. Ia menjadi anak yang begitu egois, bebal, dan arogan. Ibu nya yang melihat kelakuan anaknya seperti itu, kehilangan kesabaran dan memutuskan memindahkan Deni ke kampung halamannya yaitu Sulawesi. Ketika di Sulawesi Deni terpikat oleh kembang desa di sana bernama Tenri. Di lain hal Tenri ditaksir oleh jagoan tarung sarung bernama Sanrego. Sanrego sampai sudah menanyakan panai dari keluarga Tenri. Sanrego cemburu akan kedekatan Deni dan Tenri, sehingga mengajak duel ke dalam turnamen Sarung Tarung. Deni yang tidak bisa bela diri akhirnya belajar dari legenda Sarung Tarung di kampungnya. Drama hadir akan seputar romansa serti pertumbuhan Deni sebagai karakter yang dulunya arogan menjadi baik.
Hal yang saya sukai dari film ini ialah akan hadirnya perkelahian di angkot oleh maddog aka Yayan Ruhiyan, terasa begitu orisinil dan asik. Kemudian, saya apresiasi bagaimana pencapaian sinema Sulawesi di kancah Nasional dengan perlahan mengenalkan budaya dan tradisi Sulawesi. Saya melihat bagaimana film ini bergerak secara naratif sedikit mirip dengan premis yang dibawakan Karate kids-nya Jackie Chan, dan benar saja. Sepertinya, sutradara di film ini sangat mendambakan gaya penceritaan film Karate Kid, karena ada bagian adegan bernada nuansa 80an dan ada poster karate kid.
Hal yang saya tidak sukai, jujur kalo boleh obyektif film ini harus banyak dibenahi dari berbagai sisi, terutama naskah dan penokohan. Akting Deni yang kaku dengan gaya busana ga mirip2 amat kaya elite, terus dengan bobot naskah yang kurang tidak mampu mengangkat emosi dari segala perubahan tokoh Deni. Tiba-tiba di Sulawesi dia jadi baik dong, atau bisa dibilang bucin? Masih bisa dibedah dari berbagai sisi. Pun juga ruangan 80an yang ditampilkan tidak ada sambungan dan kaitannya dengan jalan cerita utama (aktan), hmm sepertinya ya cuma pengen nampilin sisi kepribadian sutradaranya.
Gaya penceritaan juga meskipun menonjolkan sisi lokalitas namun ternyata saya rasa hanya di baju saja, karena dalemannya nerapin gaya penceritaan film barat (karate kids), jadi kesannya. Masa sih di sana kaya gitu juga? Terus ada ketidak konsistenan yang cukup kurang baik, di mana ada karyawa Ruso yang menemani Deni bilang "Kalau di Sulawesi orang tidak suka keroyokan, kalau mau satu lawan satu". Tapi disisi lain, Deni di Keroyok juga sama anak buah Sanrego. Saya jadi mengerenyitkan dahi.. hmm.. nganu.
Kesimpulannya, meskipun masih ada yang perlu banyak diperbaiki, tapi sinema Sulawesi baguslah untuk dibanggakan dalam sisi Romantisme pencapaian sinemanya. Semoga kedepannya lebih baik, apalagi uda sekaliber ngajak om Maddog.
4/10
Comments
Post a Comment