Oleh: FF
Merekam jejak seorang Nietzsche lagi seperti mengingat dan merontokkan segala intertekstualitas demi pelebaran rasionalisme. Kisah beliau dewasa begitu miris dengan patah hati yang luar biasa hingga terjebak dalam pikirannya, kemudian menjadi gila. Memang pemikiran beliau begitu radikal dan fenomenal namun ia berani menghadapi sebuah realitas baru dengan pemaknaan baru. Beliau pula yang membuka dunia post-modern, berbicara akan sebuah kebenaran.
Beliau mencetuskan bagaimana nilai moralitas dan kebenaran hanyalah sebuah institusi sosial untuk menjadikan masyarakat budak. Semua masyarakat jadi kepingin di atur, beliau juga mengkritisi Agama yang akan melahirkan mentalitas budak. Benar di sini mungkin berbeda benar di daerah lain, karena etika dan etiket suatu daerah itu plural. Aturan nilai kebenaran juga dibentuk oleh orang-orang yang berkuasa dan ingin terus tetap menguasai. Bahkan menurut beliau orang yang setia kawan ialah orang yang bermental budak. Orang super itu orangnya mandiri dan kekurangannya akan kesepian, namun dia menjadi kepala kucing daripada menjadi buntut singa.
Nah dari hal itu muncullah konsep nihilisme, di mana sebuah aturan masyarakat itu tergantung lingkungan dan penguasa daerah (buatan manusia). Kemudian dari hal itu juga melahirkan konsep manusia super (Ubermasch) yaitu manusia yang menjadi otak, pemimpin dan keras (selayaknya humanisme Revolusioner).
Ah berbicara agama dia juga menulis sebuah alegori akan cetusan yang terkenal "Tuhan telah mati... Tuhan telah mati..". Yap sampai sekarang hampir benar, bagaimana manusia mulai menuhankan makna2 yang diciptakan manusia itu sendiri. Kita sendiri yang sombong berusaha merumuskan tuhan ideal bagi kita. Meskipun kita tahu manusia itu tidak bisa merasionalkan Tuhan kecuali dengan jalan Iman dan lakoni untuk diri sendiri. Makna-makna baru diciptakan sebagai sombol, hasrat dan keinginan manusia.. Apple, samsung, Honda, Yamaha dsb.. menjadi sebuah eksistensi penting bagi manusia yang mulai mendambakan merk dan jauh dari fungsi, manusia diubah menjadi konsumerisme. Kemudian meletakkan Agama di sela-sela dompet dalam wujud KTP, menjalaninya dengan pamrih, pahala-pahala ibarat uang, bertransaksi dengan Tuhan, melabelkan orang lain. Pada sisi ini dunia menjadi sebuah paradoks besar bila hanya menggunakan akal dan kebenaran pribadi. Namun sayang sekali kita juga harus hidup menggunakan ciri khas kebudayaan yang sudah mapan.
Poin penting dari beliau adalah sebuah eksistensi manusia. Kita seharusnya bisa mandiri dan mencari Tuhan melalui diri sendiri dan orang lain namun intinya ada di diri sendiri. Kalo kata pepatah lokal mikrokosmos diri kita itu adalah makrokosmos dunia. Jagad kecil dan jagat besar. Patuh itu memang harus karena tidak bisa lepas namun manusia yang mapan sejati ialah manusia yang bisa memaknai dunia ini sendiri tidak menjadi buntut..
Semoga kita berada dijalan yang lurus atau tersesat di jalan yang benar. Terimakasih.
Comments
Post a Comment