Oleh: FF
Karya Ibnu Thufail ini pernah disinggung dalam ngaju filsafat yang lalu. Singkatnya Ibnu Thufail merupakan guru dari Ibn Rushd (Ngaji Sebelumnya). Beliau jarang mengeluarkan karya karena berkutat dalam pemerintahan di zamannya. Namun bukan berarti dia tidak produktif, di zamannya beliau sangat produktif. Makanya karya yang satu ini samoai mahsyur hingga sekarang.
Singkat cerita di dalam karua tersebut layaknya novel hikmah. Cerita mirip Tarzan meskipun karua beliau yang terlampau duluan. Ada manusia yang kecil dan besar dihutan dibesarkan oleh Rusa dan bisa berbahasa binatang karena saking lamanya. Suatu ketika Rusa yang membesarkan ia mati. Ia sedih namun juga penasaran kenapa hewan tersebut bisa mati. Kemudian Hayy melakukan pembedahan pertama dalam sejarah, mengecek benda-benda apa yang hilang namun ia tidak menemukannya. Hingga ia berkesimpulan bahwa yang membuatnya mati bukanlah materi atau kehilangan komponen di dalamnya, namun ada suatu bentuk immateri (roh).
Mulai dari situ pengalaman empirisnya menuntut beliau untuk mengetahui alam semesta akan sebuah kebenaran.
Dihutan ia bertemu seorang sufi bernama Absal. Merek mengobrol tentang filosofi dan hakikat ternyata Absal menemukan kesamaan akan kebenaran dengan apa yang ia pelajari dalam Agamanya. Kemudian Ansal mengajak Hayy ke desanya untuk dikenalkan pada Salman kepala Suku sekaligus Ulama tinggi di desa. Pun Salman juga mengalami kesamaan filosofis dan hakikat maka Hayy diberikan kesempatan untuk mengisi pengajian ke masyarakat suku tersebut.
Namun masyarakat tidak memahami maksud Hayy, lebih lanjut malah masyarakat disana membenci dan mencap Hayy seorang sesat. Hayy juga bertanya tentang Agama dan Nabi, mengapa menyampaikan kebenaran tidak langsung serta merta namun harus melalui simbol-simbol dan metafor. Kemudian dari sana ia menyadari bahwa manusia terdapat kelas-kelas dalam memahami kebenaran. Hayy di akhir hidupnya kembali ke hutan dan terus mendalami kebenaran dan mengalami kesatuan akan Allah ketika ia berlati berputar putar mengikuti rotasi bintang, ia menyadari saat berputar-putar merasakan kelupaan dan penyatuan pada sang khalik.
Cerita di atas saya simpulkan bila tujuan Agama ialah kebenaran dan kedekatan dengan Allah. Ibn Thufail memberikan makna bahwa dalam menggunakan akal pun kita bisa dekat dengan Allah, Agama hanyalah jembatan bagi orang awam untuk universal.
Tahap menuntun kebenaran itu dalam cerita di atas. Yaitu pengalaman empiris partikular kemudian tahap rasio lalu diakhir ketika sudah terasah levelnya menggunakan intuisi.
Manusia pada fitrahnya itu baik dan memiliki citra Allah namun bukan berarti dia Allah. Hanya saja manusia memiliki potensi-potensi sifat ketuhanan meskipun kecil. Banyak manusia tumbuh dan berkembang yang merasakan kesatuan ada juga yang gagal dan mengalami kekosongan hati karena maksiat , namun Allah adalah pemberi rahmat dan penerima taubat. Begitu juga kepada manusia yang tidak menyentuh kebenaran dan agama maka hukumnya ia saat meninggal mirip seperti hewan. Nah di kitab di atas juga berkata bahwa manusia itu juga sama seperti tumbuhan, dan hewan. Namun citra manusia di tinggukan oleh Allah untuk memberikan rahmat di dunia ini sebagai khalifah bagi diri sendiri dan sekitarnya.
Sekian terimakasih.
Comments
Post a Comment