Penulis: Jakob Sumardjo
Oleh: HSA
Buku ini bercerita tentang estetika Indonesia Pra-Modern tentang suatu gambaran pengetahuan kesenian nenek moyang akan makna dan eksistensi.
Berangkat dari keresahan akan seni tradisi zaman dulu yang menurut kaum modern gerakannya tidak keren kaku dan penuh mistisme. Namun di buku ini diulas bagaimana seni primodial Indonesia zaman dahulu begitu prinsipil dan sarat makna akan nilai Spiritual. Bahkan lebih spiritual dari karya-karya masyarakat modern, karena kehilangan kedalaman, perspektif baru, dan hidup yang baru. Jadi ingat dalam kutipan buku ini bahwa hidup itu harus menyatu dan melahirkan hidup baru dari dua kehidupan.
Manusia sejatinya adalah makhluk konsumsi bukan produksi (dalam konotasi esensi). Manusia tidak bisa lepas dari alam, makan dari alam, minum dan sebagainya. Jika alam mati, manusia mati, maka bisa dibilang Alam lebih tua dari manusia itu sendiri. Masyarakat Indonesia zaman dulu bahkan menganggapnya selayaknya saudara dan Ibunda tertua (nenek moyang), dari sini sebagian kecil awal mula animisme dan dinamisme. Cth, suku asmat yang menganggap pohon adalah saudara kandung, di Lampung menganggap Gajah sebagai kakak. Bila kita membunuhnya sama saja membunuh saudara sendiri.
Seni primodial Indonesia berkaitan akan ketuhanan dan spiritual. Meskipun sama spiritualnya dengan karya seni modern namun ada perbedaan mendalam pada sisi spiritualitas. Jika karya seni tradisi Indonesia berkaitan akan spiritualitas ketuhanan, acara Agama dsb. Sedangkan karya modern seni ialah untuk seni itu sendiri alias kedalaman spiritualitas terpusat manusia itu sendiri. Berkaitan tentang spiritualitas ialah suatu kedalaman, dan keluasan yang dihasilkan pada karya pada manusia tertentu untuk merasakan fenomena afeksi baru dalam keterbatasan di dunia realitas. Pemahaman baru ini yang timbul menjadi sebuah ilham karena bersifat spontan, ilham2 ini berada dalam spiritualitas manusia yang tanpa batas dan tidak bisa dihitung bahkan sifatnya tumbuh terus. Dalam buku ini dunia itu disebut metakosmos atau Playo menyebutnya dunia Idea.
Pola hidup manusia Indonesia zaman dahulu di Indonesia sangat erat pada segala benta seni dan upacara laku seni dengan nilai ketuhanan. Pada buku ini dikonsepkan ada 1 sampai 6 pola kehidupan manusia dalam merumuskan bentuk kepatuhn pada yang Maha Esa, di buku ini disebut sebagai Batara Guru (India) dan Semar (Indonesia). Dua tokoh tersebut merupakan representasi pada Tuhan yang mencerminkan bahwasanya kehidupan dan seni itu sendiri bersifat paradoksal. Dia ada namun tidak berbentuk, dia besar namun tak terukur, dirasakan namun tidak bisa dilihat. Kejernihan spiritualitas dan Iman akan lebih mudah merasakan hal tersebut. Segala benda macam rumah, perahu, dan benda-benda parabot zaman dulu pasti memiliki makna simbolik, makanya semacam wayang zaman dulu itu sangat sakral. Begitu juga pantun karena bagian dari makrokosmos dan mikrokosmos manusia, pantun, puisi, dsb di karya melayu menggambarkan bahwa Alam itu bagian dari manusia, jagat kecil manusia itu juga jagat besarnya manusia.
Oh ya di Indonesia menyebut seni karena artinya halus dari sebuah tabloid Pujangga Baru. Kalau di Indonesia sendiri menyebutnya sebagai Kagunan (Jawa). Dari seni mendapatkan ilmu. Nah di Indonesia orang yang beriman pasti mengalami, orang yang mengalami pasti mengetahui, orang yang mengetahui ialah orang yang berilmu. Ilmu itu intinya didapat dari laku, setiap gerak adalah pengetahuan.
Buku ini menggambarkan bagaimana luasnya sebuah nilai kesenian primodial Indonesia. Bahkan di buku ini hanya membahas beberapa suku kesenian saja, masih banyak kekayaan yang sebenarnya bisa lebih ditelusuri. Di buku ini saya mengetahui banyak hal..
Terimakasih.
Comments
Post a Comment