Skip to main content

Ingatan Buku: The Art of Living (To Be)



Ingatan Buku: The Art of Living (To Be)
Oleh: Eric Fromm

Hidup antara memiliki dan menjadi,
Menjadi kelanjutan dalam memahami eksistensi psikologi pasca freud. Fromm lagi-lagi menjadi penyegar bagi saya saat sebelumnya membahas filsafat cinta dan matriarki. Apa sih hidup memiliki dan menjadi itu?

Jujur, kebanyakan manusia mengalami alineasi usai ia beranjak dari sekolah, bisa di mulai akhir kuliah dan masuk fase bekerja dalam dunia industri. Begitupun akhir-akhir ini yang saya rasakan. Bagaimana manusia mulai bosan, sepi dan tiada gairah dalam melakukan apapun kecuali menjadi instrumen pekerjaannya. Melawan akhir pekan adalah pekerjaan menunggu untuk bekerja yang di dalamnya berisi konsumsi-konsumsi dengan dalih kebahagiaan dan kesenangan diri. Bertemu teman pun hanya menjadi upaya perayaan kesepian bersama itu pun hanya kamuflase. Alih-alih berkumpul, malah bermain gawai masing-masing. Ya, kita sudah hidup di fase 4.0 di mana kemajuan industri begitu pesat, sebuah peradaban yang mendambakan serba otonomisasi.
Tapi sayang dalam ekonomi abad ini produksi harus diimbangi atau malah lebih dalam hal konsumsi. Menurut Fromm manusia sekarang umumnya sudah menjadi Homo Consume yaitu primata yang lebih banyak memiliki, menkonsumsi dsb. Padahal dalam sejarah dulu kata memiliki itu tidak ada, yang ada "Ada padaku"(Ibrani). Kalimat memang berubah bertransformasi sesuau dengan kebutuhan zaman, karena kata-kata adalah kristalisasi isi perasaan hati meskipun tidak bisa memuat sepenuhnya.

Manusia berubah menjadi manusia pemasaran, di mana manusia-manusia ini di dalam masyarakat hanyalah dibutuhkan instrumennya saja bukan apa yang dia lakukan, tapi apa yang ia kenakan dan sejauh apa berfungsi dalam sebuah ikatan masyarakat/organisasi. Manusia ini yang nantinya akan membuat lapisan-lapisan ilusi perasaan dengan apa yang ia miliki. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa ia bahagia bahkan ia butuh setiap harinya pengakuan dari orang lain kalau dirinya itu bahagia. Pun demikian dalam hal relijius, pada abad ini manusia modern selalu meyakinkan dirinya beragama dan relijius tapi masalahnya bukan apa yang diberhala kan/dituju tapi pada bentuk apakah kita menyembah. Menurut Fromm manusia modern secara tidak sadar menyembah pada konsumsi, kerusakan alam, dan industri (uang juga kali ya). Nah hal ini juga dalam sepanjang perkembangan zaman disebabkannoleh sistem patriarki yang mengakar dalam menanggapi alam. Alam dianggap harus ditaklukan dan kita adalah primata paling atas. Berbeda dalam matriarki yang dahulu diterapkan pada sejarah di mana Iman dan Akal masih bersatu, di mana kita hidup harus berselaras dengan alam (nanti saya bisa dongengin).

Pada akhirnya untuk hidup menjadi ialah kita harus bebas dulu, bebas dari dan bebas untuk. Hal yang mencirikan menjadi ialah karakteristik. Hal yang bisa dipantau persona, hal tersebut menjadi sebuah hal yang patut diterapkan. Bagaimana kita harus melakukan berdasarkan apa yang membuat kita menjadi diri sendiri. Simpelnya menurut fromm, berbagi, memahami dan menjadi. Aku apa yang aku lakukan, aku adalah masyakarat dan aku bagian dari makrokosmos.
Terimakasih

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d