Skip to main content

Review Buku : Identitas dan Kenikmatan (Politik Budaya Layar Indonesia)



Review Buku : Identitas dan Kenikmatan (Politik Budaya Layar Indonesia)
Oleh: Ariel Heriyanto

Buku ini lebih tepatnya mengarah pada sosial budaya, bukan pada sinema teknis atau layar dalam konotasi perfilman. Kata-kata baku membuat saya agak alot mencerna beberapa istilah namun disisi lain (semoga) sedikit memahami kronologis budaya layar atas dampak perjalanan politik sejarah Indonesia. Maka untuk mencoba mengingat kembali saya hanya menulis garis-garis besar pokok pikiran di dalam buku tersebut, meskipun tidak lengkap/dalam banget.

Buku ini mencoba menjelaskan hiruk pikuk yang terjadi dalam dunia layar mengenai budaya dan pelaku di dalamnya, lebih menyoroti budaya politik seperti pemilu dan fenomena budaya (larangan jilbab) hingga tragedi, seperti kasus 1965 komunisme, rasial tionghoa di dalam layar, Islamisme dan Post Islamisme, dan ya buku ini juga membahas wanah Asianisasi alias KPOP dan perbedaan antara wabah hiburan dari Barat dan Timur.

Hal yang saya sedikit pahami mengenai wacana Islamisme dan Post-Islamisme pada buku ini merujuk pada ideologi Khalifah dalam sebuah pusaran budaya, serta Post Islamisme mengenai bagaimana Ideologi Islam hidup di dalam dunia modern. Mengenai gambaran tampilan layar ini mencakup bagaimana ia berbicara tentang identitas. Keislaman pada era ini paling sering dipatok melali beragam media salah satunya televisi, bagaimana berpakaian dan sebagainya. 

Di era lahirnya film juga sedang maraknya isu rasial tionghoa dan pribumi, buku ini membahas tentang perdebatan film pertama Indonesia yang dimaksud. Sebab pada orde baru film pertama yaitu Usmar Ismail yang disematkan sedangkan orang tionghoa sebelumnya hanya mencari komoditas keuntungan dan tidak full dari pribumi. Perlu diketahui bahwasannya film pertama Indonesia pun ternyata dibiayai oleh seorang Tionghoa. Mulai dari sinilah konsep Nasionalisme dipertanyakan oleh buku tersebut.

Hal yang jelas pada era sekarang kehidupan mulai disetir oleh sebuah layar. Seperti FTV yang menayangkan wacana Cinderella Complex. Begitupun konsep Pemilu 2009 yang terasa berbeda seperti laiknya konstentan "Indonesia Idol" acara kampanye Menjadi sebuah kontestasi hiburan dalam menyiarkan pesan-pesan politik ke Masyarakat.

Btw, saya baru tahu kenapa orang mainin klakson atau geber motor saat kampanye. Karena zaman orde baru kebebas kampanye itu dipersempit. Sebenarnya masih banyak, mungkin bisa sa ingat dalam beberapa utasan tebal di atas. Terimakasih.


Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha...

Bagaimana Jika?

"BAGAIMANA JIKA?" Dari sekian banyak kata, istilah, dan elemen yang membentuk kalimat, makna, rasa, emosi, serta menjadi penghubung dari satu semesta (diri) ke semesta lain. Mungkin aku tak bisa merangkai kalimat yang lebih baik dari apa yang sedang terpikirkan, tapi kuharap kamu mengerti. Ada satu kata magis, menjelma udara malam yang menemani banyak aktivitas dengan tatapan kosong: termenung. Frasa ini menyelinap tanpa permisi ke setiap khayal, lalu membiarkan kita membangun berbagai skenario di dalamnya. Frasa "Bagaimana Jika?" selalu banyak kuterakan dalam pola komunikasi dan khayalku, seolah menggantikan tubuh ini melayang di antara jutaan bintang-bintang. Bagi orang kota, "Bagaimana Jika?" adalah sihir pengusir waktu—saat di dalam kereta, atau sekadar menuntaskan hajat di kamar mandi. Bagi para peneliti, frasa ini menjadi kelinci percobaan dalam menemukan tabir dunia yang belum terungkap, yang kemudian mereka abadikan dalam nama penemuan-...