Dir: Noah Baumbach
Pernikahan Nichole dan Charlie sedang diujung tanduk, beberapa macam cara untuk menyelesaikan tetap saja ego mereka terkadang suka meledak-ledak. Alur perceraian sebuah bingkaian alur utama di film ini, bagaimana perceraian itu sangat melelahkan. Demikianlah dunia dewasa..
Dari segi plot film berdurasi dua jam lebih ini cukup memiliki alur yang lambat eksposisi tangga dramatika begitu pelan dan hati-hati. Mungkin karena alasan ini afeksi yang saya rasakan begitu personal. Tergambar juga bagaimana rangkaian shot menjadi lebih berdekatan antara keduanya, di sini bahkan saya tidak merasakan adanya manusia jahat (antagonis), semua begitu manusiawi. Hal yang membuat saya tertarik berkat adanya ledakan di konflik, begitu compliment pembawaanya, editing rapi, akting dari mereka sata rasa liar biasa saling mengisi.
Secara konteks, film ini menunjukkan bagaimana lemahnya liberalisme menghadapi persoalan hati. Hal ini juga ditunjukkan dari berbagai macam scene pengacara, tentang right. Saya melihat bagaimana anak selayaknya barang yang diperebutkan tanpa perlu diperhatikan atas ego masing-masing. Dalam dunia rasionalitas modern kita semua percaya akan 5 indera saja dalam memahami dunia realitas. Padahal urusan hati dan cinta ada bagian lain yang tidak dimiliki kaum modern, yaitu intuitif, naluri dan nurani. 3 hal tersebut juga sepantasnya dilatih selayaknya indera-indera tersebut. Untuk memahami 3 hal tadi orang Indonesia dulu lebih canggih daripada rasionalitas barat. Intuitif itu yang membuat kita bergerak menuju sebuah kebetulan-kebetulan yang tidak sadar membawa kita pada apa yang kita harus lakukan berikutnya. Pada kasus perceraian ini para pengacara malah menjadikan semuanya terasa seram, bagaimana masing-masing pasangan dianggap saling ingin menguasai dan membohongi (saya malah ingat konsep leviathan thomas hobbes). Bahkan perlu diakui oleh kita pasti kita pernah merasakan 3 hal tadi secara sengaja atau tidak sengaja, namun terlatih? Tidak juga... Terimakasih.
Comments
Post a Comment