Penulis: Pidi Baiq
Telah lama saya tidak berlibur dan mengunjungi dimensi fiksi dari orang lain, atau bisa disebut Novel. Kali ini saya sangat terhibur hatinya oleh seseorang yang berjasa mengantarkan saya mencintai buku, ialah Pidi Baiq. Panggilannya Ayah Surayah, tulisan beliau saya akui seperti curhatan penulis-penulis diary, singkat, padat dan dinamis. Dalam kedinamisan nya saya merasakan sebuah nuansa dan gerbang lebar untuk masuk ke dalam dunia tulisannya, kemudian perlahan aku dapat berempati. Sebut saja Drunken Mama, Drunken Master, Dilan Series. Buku-buku beliau mengantarkan saya pada dimensi dirinya yang lain. Hal ini kemudian saya hormati dengan membeli kembali buku terbaru nya yang berjudul Helen dan Sukanta. Meski saya tahu tidak sedikit yang tidak menyukai gaya tulisan beliau dengan nada "tidak begitu sastrajendrik".
Oke, saya akan bercerita bagaimana buku ini membuat saya memasuki dimensi lain. Di mana kesenangan, harum aroma gunung, pandangan cinta pertama, kesedihan, kekesalan, dan keteduhan yang penuh. Beberapa orang menilai buku ini adalah versi "Dilan 1938" (lebih berkonotasi mengece). Ya saya harus jujur membaca bagian awal serasa saya membaca Milea yang sedang berbicara, namun setelah melewati 3 bagian di awal pandangan saya berubah. Helen di sini bukanlah Milea yang manja dan tidak bisa mandiri (Helen pun pertamanya manja). Beliau berkembang menjadi karakter dewasa yang anggun dan mandiri. Saya memahami bagaimana Helen berkembang dan jatuh cinta. Begitupun Sukanta karakter yang menurut saya tidak terlalu ditonjolkan dalam cerita dan terkadang mengambil buaian Dilan beberapa, tapi menurut saya ini pas. Saya merasakan ini luar biasa kenapa? Sebab di buku ini saya menemukan banyak sekali tragedi dan konflik-konflik eksternal baik tingkat manusia, kelompok hingga negara. Oh iya Helen merupakan karakter faksi, yaitu fakta dan fiksi. Fakta ternyata memang Helen itu ada, bahkan cerita ini terbentuk berkat dirinya. Namun beliau telah meninggal pada tahun 2012. Pertemuan dengan Pidi Baiq pun tanpa sengaja sekitar tahun 2002. Kemudian ini pun njuga fiksi karena kandungan drama dan cerita telah mengikuti penyesuaian Pidi Baiq.
Masuk dalam konteks cerita. Usai saya membaca eksistensialisme cinta melalui Gibran, saya mendapatkan secercah sinar dengan melanjutkan membaca buku ini. Hal yang saya bold dari semua kesatuan cerita ini ialah kehebatan cinta pandangan pertama. Saya seperti merasakan ini adalah alegori cerita tentang Adam dan Hawa. Bagaimana mungkin? Cinta pertama selalu hadir dalam sebuah kebahagiaan dan petualangan baru bagi pengidapnya. Helen menjadi senang dengan kehadiran Sukanta (Ukan), karena merasakan kebebasan lain serta dimensi kebahagiaan lain yang tidak diberikan oleh orang tua nya. Semua manusia pada dasarnya berbeda namun sama dalam cinta, begitulah Sok Hok Gie berucap. Ternyata memang kebahagiaan cinta itu melampaui materi, ras serta kelas. Helen tidak peduli lagi bahwa Ukan sebenarnya dari oranh Hindia. Di sini saya sangat menikmati perjalanan mereka.
Kemudian, bagaimana cinta begitu dekat dengan kemanusiaan dan moralitas. Dalam buku ini digambarkan bagaimana Nasionalisme tidak begitu berarti bila tidak ada cinta di dalamnya. Sebab hal yang perlu didahului adalah kemanusiaan. Helen dan Sukanta dari kasta berbeda, namun di sana pula Helen merasakan sebuah gelombang energi baik yang belum pernah ia rasakan. Baik itu Belanda, Jepang ataupun Indonesia di sini digambarkan sama saja bila pasa akhirnya kemanusiaan itu ditarik oleh manusia itu sendiri demi kepentingan hawa nafsu. Bagaimana digambarkan Jepang yang begitu brutal dan kelewat sadis, bagaimana Belanda melalui Mr Birjkman begitu haus kekuasaan dan rasis, dan juga pemuda awal kemerdekaan Indonesia yang ikut2an rasis dan ingin membantai semua kulit putih (beserta perampokan).
Pada akhirnya saya menyelesaikan buku ini kemanusiaan dan cinta haruslah di atas semuanya, kemudian saya mendapatkan fakta sejarah baru dari sudut pandang Helen sebagai Belanda, dan kedamaian membaca buku ini dengan nuansa kebun tanaman dan hawa gunung membuat saya terasa damai.
Terimakasih.
Comments
Post a Comment