Skip to main content

Review Film: Gundala (2019)



Review Film: Gundala (2019)
Oleh: HSA

Film Gundala menjadi gerbang pembuka dunia film sinematik jagoan di Indonesia. Mencoba menerapkan formula MCU (Marvel Cinematic Universe) Gundala sendiri merupakan bagian dari Bumi Langit Universe (BCU) yang terdiri dari ribuan tokoh baik antagonis maupun protagonis. Sehingga kesuksesan Gundala sendiri menjadi tombak tolak ukur film Jagoan berikutnya agar proyek tersebut berumur panjang.

Hal yang saya sukai dari film ini terdapat pada gaya Sinematografi yang ciamik. Sekelas film ini berhasil menghadirkan dunia fiksi ini seakan lebih elegan. Ada juga musik skoring yang dipakai menambah nilai plus meskipun sepanjang film hampir tiap plot berisi musik, namun tidak mengurangi nilai estetika film itu sendiri, malah menambah afeksi dramatika dalam film. Terakhir penokohan Protagonis dan Antagonis utama, membuat saya teringat oleh film Kamen Rider dan Antagonis sekelas Joker. Karakteristik antagonis yang paling saya sukai adalah Pengkor dan Ghazul, penjahat dari elit oligarki Pemerintahan ini membuat penonton seakan-akan memaklumi tindakan jahat doi karena masa lalunya yang keras, dan pula membesarkan anak Yatim dengan tangannya sendiri meskipun ada maksud dan tujuan di dalamnya, namun pembangunan tokoh antagonis ini saya rasa malah lebih terbangun daripada Sancaka itu sendiri. Sancaka sendiri merupakan tokoh yang menurut saya hanya media untuk memperkenalkan Gundala. Sebab ketika ia menjadi Gundala, atensi kharisma Sancaka lebih baik sehingga banyak yang bisa diceritakan di dalam plotnya. Terlebih penggunaan kekuatan super tidak terlalu ditonjolkan yang membuat film ini tepat menempatkan istilah "jagoan". Hal yang khas dari gaya film ini terletak pada sisi mistisme yang diangkat sehingga saya yakin dan optimis (jika diolah dengan baik) film jagat jagoan ini bisa tampil beda dan baik sebab pengangkatan cerita berdasarkan mitos-mitos yang khas di Indonesia, sehingga menjadikan film ini begitu dekat dengan segala adat istiadatnya.

Sekarang bagian yang saya tidak atau kurang sukai secara umum ialah plot dan naratif linier yang terkesan buru-buru. Bahkan saya sempat merasa satu Scene menjelaskan sub-plot tanpa kita mencoba menarik nafas untuk memahami alur dan karakter di dalam nya. Ada juga gaya penceritaan yang sangat sensitif karena mempengaruhi unsur kausalitas film, yaitu melalui tutur kata bukan ditampilkan secara visual, seperti penjelasan Gundala ialah reinkarnasi, penjelasan kaca botol serum, dan masih banyak lagi. Karena plotnya terburu-buru maka fatal bagi pengenalan beberapa karakter. Banyak tokoh antagonis yang menurut saya begitu potensial untuk menjadi musuh utama daripada langsung ke Pengkor. Tapi saya mencoba memahami demi alasan kebelet menjadi universe. Pada sisi gaya film yang tadi saya puji akibat perkawinan konsep Mistisme budaya Indonesia dan Modernitas era kini, ternyata menjadi kegamangan tersendiri di dalam filmnya (meskipun saya masih puji, karena ini genre baru dan asing yang dicoba di Indonesia). Seakan-akan di film ini Joko Anwar masih tidak pede dengan mistismenya, sebab ada aktan virus amoral yang merajalela, serta kekuatan2 yang dibahas pada Gundala masih mencoba logis.

Eskalasi dari opini saya terhadap film Gundala ini ialah, saya mencoba memahami bagaimana Joko Anwar bisa terburu-buru dalam penceritaannya, dan banyak karakter mubazir dipakai. Ialah karena ia ingin menonjolkan "Jagoan" seperti kamen rider akan kekuatan2nya, perubahan2 yang dibangun sehingga menjadi Gundala. Meskipun jadi buah simalakama, sebab karakter musuh seperti numpang lewat saja. Tapi saya masih senang dengan karakter Gundala sebab memberikan saya visi imaji baru tentang interpretasi sosok Jagoan. Apalagi di bagian Post Credit Scene, beuhhh buat saya tepok tangan.
Salam sukses untuk Genre yang jarang dipakai ini.

Rate: 7,5

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d