Ngaji Filsafat: Semanalisis dan Feminisme (Julia Kristeva)
Oleh: FF
Oleh: FF
si laki-laki seperti sebelum-sebelumnya tokoh yang saya pelajari ialah pria.
Julia Kristeva ialah salah satu mantan mahasiswi Heidegger dan berakhir menjadi kekasih gelapnya. Meskipun mereka sama-sama tahu hubungan antara dosen dan mahasiwi tersebut tidak berharap sampai tingkatan paripurna. Jadi kecintaan yang mereka miliki hanyalah sebuah simbol dari capaian pengalaman.
Julia Kristeva ialah salah satu mantan mahasiswi Heidegger dan berakhir menjadi kekasih gelapnya. Meskipun mereka sama-sama tahu hubungan antara dosen dan mahasiwi tersebut tidak berharap sampai tingkatan paripurna. Jadi kecintaan yang mereka miliki hanyalah sebuah simbol dari capaian pengalaman.
Dalam pemikiran Julia Kristeva terinspirasi dari Semiotika dan Semantik Roland Barthez, Lacan dengan Psikoanalisa- Semiotika, dan Freud dengan Ego dan Super-Egonya. Mudahnya hal yang saya dapat adalah teori Semanalisis di mana teks tidak bisa berdiri sendiri kaku berdasarkan kontruksi sosial yang dibangun. Namun teks itu sendiri terdapa genoteks dan fenoteks, di mana genoteks merupakan bentuk asli dari teks atau yang dilembagakan oleh kontruksi sosial, nah ada juga fenoteks di mana lebih ke bentuk konteks ada fenomena yang dibangun atas teks tersebut. Jadi kedua bentuk tersebut tidak bisa sendirian karena ia berjalan beriringan. Contoh umumnya seperti kata "bangsat" dalam genoteks ia merupakan nama serangga tungau yang disepakati bersama, namun teks tersebut berkembang menjadi jelek atau peyorasi, menjadi kata cacian atau makian, jika dibaca secara fenoteks. Secara spesial bisa sangat terasa di bahasa-bahasa puisi.
Genoteks dan Fenoteks menghadirkan intertekstualitas di mana tiap struktur teks yang dibangun tentu banyak dan beragam terdiri dari pemahaman fenoteks. Misal bendera kuning di Jabar tanda orang Meninggal, tapi berbeda dengan lampu kuning di lampu merah untuk tanda hati-hati. Nah beragam intertekstualitas ini lah yang bisa membedakan atas perkembangan makna teks secara historis. Jadi bahasa itu selalu berkembang tergantung struktur budaya itu bergerak, ketahuilah bentuk pasti selalu berubah.
Pada hal ini mirip seperti das Ding an sich milik Immanuel Kant. Di mana bentuk asli atau murni dari obyek pengamatan manusia itu tidak bisa diindrai. Manusia melihat obyeknya berdasarkan apriori atau fenomena yang membentuknya. Sedangkan bentuk aslinya itu berasal dari realitas numena. Contoh, teh manis menurut saya ini manis, tp menurut orang lain tidak terlalu, bahkan ada yang bilang kemanisan. Begitu juga dengan konsep bahasa, di Indonesia bisa bernama teh di luar dipanggil tea dan sebagainya.
Tentang konsep feminisime doi saya ga begitu banyak belajar tapi ada beberapa poin yang saya tangkep.
Tentang konsep tubuh maternal, abjeksi, yang mengakibatkan adanya patriarki. Tubuh maternal itu berasal dari mother atau ibu. Di mana fungsi fisiologis nya ialah mengandung dan melahirkan dan terdapat aspek keintiman dari konsep mengenal kasih sayang hingga pemberian susu di mana aktivitas awal tersebut akan membentuk nilai moral yang menurun ke anaknya. Jadi semakin cerdas Ibu, maka kualitas anak akan lebih baik. Entah dari turunan gen (internal) ataupun pola pendidikan (eksternal). Nah proses pemberian itu fasenya sampai bayi umur 6-7 bulan sehingga terbentuk ikatan lekat terhadap Ibu, kalau di Eric Fromm bernama penyatuan alam. Kemudian ketika menjadi manusia dewasa akan ada fase abjeksi atau penolakan2 dari kasih sayang Ibu (atau istilah penolakan internal bukan secara fisik) untuk memulai atau lahir sebagai manusia di dunia masyarakat sosial. Di Eric fromm dinamakan keterpisahan alam.
Pada fase ini bentuk radikalnya akan melahirkan budaya patriarki. Di mana perempuan mengalami penindasan dan diskriminasi secara sosial atau politik.
Terimakasih.
Comments
Post a Comment