Oleh FF
Menarik ke dunia Timur tentang pencarian konsep kebahagiaan masuk dalam ranah dunia Islam. Al-Farabi memiliki persamaan dan perbedaan tentang konsep kebahagiaan dari Aristoteles dan Plato. Ya benar saja, sebab Al-Farabi menganggap keduanya adalah gurunya. Konon beliau mendalami buku Plato yang setebal bagong sampai 200x sebelum ia mulai menuliskan kembali.
Al-Farabi dan Plato sama-sama mencetuskan kebahagiaan adalah tujuan hidup. Kebahagiaan itu bisa diidentifikasi dengan kenikmatan. Nah pola kenikmatan inu yang sifatnya berbeda dari manusia satu ke manusia lainnya. Kenikmatan pada dasarnya bersifat temporer sedangkan kebahagiaan bersifat permanen. Simple yang saya dapat, kenikmatan itu selayaknya kita makan di sebuah restoran "all u can eat", kita yakin meskipun makan sepuasnya tapi pada akhirnya kita memiliki batas, entah mual atau kekenyangan, nah itu contoh kecil kenikmatan ia bersifat sementara, tidak tahan lama dan polanya berubah-ubah. Kalau kebahagiaan saya mencoba tarik bagaimana kita menikmati saat mengetahui sebuah pengetahuan baru, sehingga menghasilkan konsep hidup atau pengetahuan bagi lainnya. Ya itu contoh kecil kebahagiaan, kita menikmati nya dan berjangka panjang (nikmat pengetahuan).
Al-Farabi dalam konsepnya mencetus Tahsil sa'adah sebagai konsep final kebahagiaan. Kebahagiaan paling tinggi itu diraih ketika manusia sudah tahu batas cukup. Kebahagiaan sempurna juga dapat dirasakan jika jiwa merasakan kesempurnaan-Nya, Absolute Good.
Dalam memperoleh kebahagiaan tersebut manusia sudah memiliki instrumen yaitu 3 daya jiwa. Daya gerak, daya mengetahui dan daya berpikir. Daya berpikir ini menentukan cabang2 dalam tiap keputusan manusia dalam menentukan kebahagiaan.
Ada Akal potensial, ini bersifat apriori karena menghubungkan satu akal ke akal lain, alias selayaknya mencocokan pemahaman kita ke pemahaman lain sehingga menghasilkan nilai ideal dalam pikiran. Akal aktual, ini bersifat apost priori, karena menghubungkan akal ideal dalam dunia realitas. Kadang akal potensial tidak tergambarkan pada dunia aktual. Contoh pada tataran idea Islam itu baik, tapi dalam realitas banyak framing bila Islam ternoda (meskipun hanya dalam kasus tertentu). Ketiga Akal Mustafal, akal inilah yang menghubungkan akal manusia menuju akal fa'al atau Tuhan. Ketika kita dapat irfan, dan sebagainya atau proses berpikir menemukan suatu cara yang baru dan baik bisa saja kita terhubung dengan akal mustafal, apa yang kita lakukan sebabnya Tuhan. Kalau dunia barat menyebutnya sebagai entitas realita, kalau Plato menyebutnya sebagai dunia Idea.
Kemudian untuk mencapai kebahagiaan puncak ada 4 keutamaan yaitu, berpikir, teoritis, moral dan praksis. Keempat ini yang menuntun manusia menuju suatu batas nikmat yang akhirnya menuju kebahagiaan. Tapi banyak juga manusia yang tidak ingin kebahagiaan, atau ilusi yang menganggap apa yang ia lakukan itu kebahagiaan. Contoh, kejahatan, kebohongan dsb. Mungkin saat melakukan merasa kenikmatan namun jika metode atau cara berpikir salah akan berakibat buruk pada jangka panjang.
Kebahagiaan keutamaan ini salah satunya harus melalui proses habitus yaitu pelatihan. Manusia bijak akan bijak jika ada permulaan atau dilatih. Sebab bagi Al-Farabi pemahaman dan kemauan itu beda. Banyak orang yang paham akan kebaikan tapi lebih banyak orang yang tidak mau melakukannya. Jadi antara memahami dan melaksanakan ada jarak, untuk berkontemplasi di dalamnya haruslah dengan praktek. Jika pemahaman tanpa praktek hanya akan menghasilkan perpustakaan saja tanpa ada perubahan, itu juga menjadi tidak optimal, bahkan hidupnya selalu merasakan resah.
Farabi juga menganggap kebahagiaan itu tidak bersifat eksklusif dan individual seperti Plato. Meskipun sendiri bahagia namun secara sosial buruk maka tidak akan melahirkan kebahagiaan. Oleh karena itu Farabi juga menggagas sebuah pemahaman politik sosial untuk mencapai kebahagiaan di tingkat kelompok sosial, masyarakat dan negara.
Terimakasih
Comments
Post a Comment