Skip to main content

CaKar #1 (A silent message behind the window)

CaKar (Celotehan Karya)

Judul: A silent message behind the window
Oleh: Aghra Aghasa A.
Resensi: HSA

Permulaan dari sebuah celotehan karya dari teman-teman sekte ini merupakan hasil daur ulang pikiran masing-masing kawan atas realitas obyektif, kemudian dibaurkan atas realitas subyektif nyang resensi.

Ini mah sotoy-sotoyan aja kita, tanpa ada maksud jelek, nawaitunya baik ini beneran, deh, gak bohong!
Mari mulai...

Melihat sebuah sketsa lukisan dari goresan ini membawa saya ke dalam suatu fenomena kekalahan kebudayaan yang tergores oleh zaman. Saya melihat di sini sebagai pengintip (voyouer?). Bagaimana ruangan terdapat vinyet di dalamnya seolah-olah saya sebagai penikmat sedang menikmati pemandangan atas kesedihan seseorang dengan benda-benda yang tergeletak berantakan. Dari jauh terlihat nuansa putus asa.

Terlihat juga di luar terdapat bangunan-bangunan berupa ragam jenis (plural)/tengah kota?/heterogen?
Di luar jendela terutama ada lambang simbol bangunan, seperti salah satu kepercayaan mayoritas di Indonesia.

Lukisan ini kalo boleh dibilang bernuansa romantisme di mana terdapat perasaan haru dan kontras dalam menggambar emosi karakter di dalamnya.

Coba saya baca dengan pendekatan subyektif...
Pria di dalam ialah gambaran bagi pengintip (saya) bahwa kebudayaan terdahulu di Indonesia hanyalah gambaran keputusasaan, dan tidak posivistik. Weber mengatakan bahwa dunia saat ini bergerak semakin rasional, maka pandangan kita sebagai makhluk modern menganggap bahwa kebudayaan dahulu ialah gerakan keputusasaan, atau sudah kuno karena sudah ada bentuk solusi yang lebih baik di luar jendela, yaitu kokohnya Agama mayoritas di Indonesia ini, sudah tidak relevan bagi Agama kuno. Bahkan si pengintip ini menyadari orang-orang yang melakukan tirakat seperti zaman dahulu itu hanya dilakukan orang-orang putus asa.

Dengan goresan hitam putih menunjukkan kesedihan yang lebih, akan dunia dualistik ini. Namun bila saya tarik secara obyektif, maka dalam derasnya hujan modernitas di Indonesia masih ada laku-laku yang dijalankan orang dalam peribadatan dan sebagainya oleh seseorang di ganbar tersebut yang mempercayai bahwasannya. Ibaratnya orang tersebut adalah isi dari laku spiritualitas yang jarang diperhatikan karena sesuatu yang materi-materi yang lebih menguntungkan.

Comments

Popular posts from this blog

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha...

Bagaimana Jika?

"BAGAIMANA JIKA?" Dari sekian banyak kata, istilah, dan elemen yang membentuk kalimat, makna, rasa, emosi, serta menjadi penghubung dari satu semesta (diri) ke semesta lain. Mungkin aku tak bisa merangkai kalimat yang lebih baik dari apa yang sedang terpikirkan, tapi kuharap kamu mengerti. Ada satu kata magis, menjelma udara malam yang menemani banyak aktivitas dengan tatapan kosong: termenung. Frasa ini menyelinap tanpa permisi ke setiap khayal, lalu membiarkan kita membangun berbagai skenario di dalamnya. Frasa "Bagaimana Jika?" selalu banyak kuterakan dalam pola komunikasi dan khayalku, seolah menggantikan tubuh ini melayang di antara jutaan bintang-bintang. Bagi orang kota, "Bagaimana Jika?" adalah sihir pengusir waktu—saat di dalam kereta, atau sekadar menuntaskan hajat di kamar mandi. Bagi para peneliti, frasa ini menjadi kelinci percobaan dalam menemukan tabir dunia yang belum terungkap, yang kemudian mereka abadikan dalam nama penemuan-...