Skip to main content

Review Film: Joker (2019)



Dir: Todd Phillips
Oleh: HSA

Sekian lama DC membuat tone film gelap-gelapan. Namun akhirnya Joker Standalone mampu membawanya sedemikian rupa, dari cinematography, set production, dan naskah. Patut diberi jempol.
Jika film superhero atau anti hero berkaitan dengan hal-hal CGI atau sinar-sinaran laser. Film Joker tidak demikian. Film ini lebih masuk ke dalam psikologis dan realistis terhadap penggambaran dunia sekitar penonton.

Secara naratif film ini tergolong memiliki pace lambat dan lebih subyektif ke Arthur. Set production jelas merefleksikan pikiran-pikiran Arthur yang begitu rusak dan gila, terdapat graffiti di mana-mana menggambarkan pikiran anarko primitif (kata teman saya). Pace yang cenderung datar tersebut membuat penonton makin memiliki point of interest pada peran Arthur. Begitu juga cinematography sebagai bahan pendukung dunia Arthur bahkan beberapa adegan menyamai adegan The Dark Knight. Tone biru hijau membantu kekelaman dunia Arthur.

Joker menjadi film psikologis yang cenderung realis dan gila. Pembukaan film mengenai tikus besar merepresentasikan pejabat-pejabat elit yang sulit disingkirkan atau diperbaiki. Belum lagi urusan oligarki politik di Gotham City yang dikehendaki oleh Ayah Bruce Wayne sendiri yang mengajukan menjadi walikota. Bahkan kaum anarko mulai muncul (di sini anti pemerintah) akibat perkataan Ayah Bruce Wayne mengenai badut-badut. Dicerita ini Arthur didiagnosis menderita penyakit kejiwaan sehingga ia dapat tertawa secara tiba-tiba. Beberapa yang perlu di highlight penyakit gila ini bisa sangat bernilai filosofis apalagi di dalam naratif ada hal kunci yang membuat penonton semakin penasaran. Perkataan Arthur mengadopsi banyak filsuf, seperti Descartes, Kant, dan Roussou. Cogito Ergo Sum, dan sebagainya. Ada dialog di mana ia bingung dengan realitas di luar sehingga ia merasakan itu adalah ilusi, ia sendiri yang nyata. Dalam beberapa hal saya menobatkan film ini bergenre Romantisme Tragedi. Saya sepakat dengab asumsi pertama tentang "Batman lahir akibat kejahatan, Joker lahir akibat Masyarakat".

Masyarakat itu sakit, nilai kebaikan harus ditakar oleh golongan tertentu. Sedangkan hidup begitu sangat personal dan subyektif. Hingga ada ekspetasi muncul yaitu keinginan akan harapan untuk melewati standar atau bahkan minimal menyamai standar masyarakat. Bahkan ukuran status kemanusiaan manusia harus dikuantitatifkan pada nilai kesepakatan rasio masyarakat. Sehingga orang seperti Arthur harus merasakan pahitnya kehidupan.

"Batman lahir akibat kejahatan, Joker lahir akibat Masyarakat". Secara kesimpulan film ini begitu personal sampai-sampai penonton keluar bioskop harus menyusun ulang dan merefleksikan realitas kehidupan mereka akan gambaran di film Joker. Tapi menurut saya masih belum ada yang bisa melampaui kesan Trilogi Batman Nolan, personal dan meluas.

9/10

Comments

Popular posts from this blog

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d