Skip to main content

SURAT UNTUK KEKASIH (DEMO FICTION)


PERTAMA
Aku tidak sadar bahwa hidupku bertaruh pada masa ini.
Hari itu langit tidak secerah biasanya, hanya berisi kabut tebal abu-abu menutup separuh gedung-gedung tinggi. Gerimis membasahi jalan-jalan, gerumulan orang melewati batas-batas trotoar menghindari kubangan-kubangan air.
Di antara angin yang berhembus pada halte yang ku turuni, di antara orang-orang yang menunggu hujan, ada bau hujan yang selalu membawa diriku kembali pada dirimu.
 Tiba-tiba punggungku terasa hangat, hingga tidak ada waktu yang tersisa untuk menghitung bulir air yang turun dari atap halte, entah kenapa semakin ku cerna, maka semakin tergambarkan dirimu lebih jelas, kuingat pada senyum bergantung di bibirmu sehingga mananggalkan resah pada tubuh ini, makin menggigil dan getir. Ya, pada saat itu.
 Dahulu kita pernah bercakap-cakap bagaimana nasib waktu di depan, menjadi apa dirimu, dan menjadi apa diriku kelak. Ada rahasia yang tidak pernah aku katakan padamu sampai saat ini, di atas langit saat aku bersumpah bahwa tidak ada kebohongan pada tiap ucapan yang ku katakan padamu. Aku selalu membayangkan bahwa dirimu menggunakan sebuah permadani, sutra, dan memainkan sebuah musik dalam setiap keputusan hidup. Aku hanya mengatakan betapa hebatnya nanti diriku kelak dengan masa di mana aku akan bisa membeli apapun. Kata mu aku rakus, ya aku tidak tahu dengan apa yang aku katakan saat itu, aku hanya bisa mengatakan apa yang mungkin bisa terdengar sangat keren. 
 Satu hal itu mengingatkanku pada hal lain di masa ini, bahwa sebisa apapun aku bisa membeli sesuatu tapi aku tidak bisa kembali membeli episode-episode bersamamu, atau mengembalikan dirimu hadir di sini, untuk sekadar melihat senyum dirimu yang masih terpatri dalam setiap elegi embun pagi. Entah besok atau kemarin aku merasa dirimu menjadi kepulangan yang paling kudambakan. Dahulu aku menginginkan menjadi orang spesial dan dunia harus tahu diriku siapa, maka jika kau melihat diriku sekarang, mungkin kau akan beranggapan aku menjadi manusia gagal. Sebab, aku memilih menjadi manusia biasa saja, menjadi kerumunan, buih di dalam masyarakat di bumi. Semakin tumbuh, aku selalu berpikir bahwa apakah dunia ini benar-benar dunia impian yang kita obrolkan saat dahulu kala? Ternyata hal yang kita ceritakan dahulu hanyalah cerita dongeng, entah terjadi di mana. Aku hidup di dunia yang berbeda, di dunia ini, saat ini, hal paling nyata kemudian aku sadari itu hanyalah cinta, atas engkau.
 Aku ingin menggenggammu sekali saja agar tak pernah ada penyesalan seperti saat ini, menjadi sebuah nyanyian yang tidak pernah selesai. Atas hal ini, di bawah teduhan halte kemudian air hujan mulai menyadarkanku. Aku harus kembali bekerja, masih banyak yang harus aku lakukan yaitu mengingatmu, agar kau selalu benar-benar abadi dalam diri ini. Terima kasih.


KEDUA
Pukul 5, saatnya aku bergegas menuju rumah, di antara lautan manusia, aku menjadi salah satu dari mereka yang menerka-nerka masa depan. Dihadapkan kemacetan dan riuh letih manusia.
Aku terbawa alur sehingga terlena menanti dirimu, di antara ribuan manusia di Jakarta.

Di antara langit yang mulai menggelap, serta mega-mega jingga menyapu kaca pencakar langit. Aku merasa kau selalu hadir di dalam setiap langkahku.
Aku tidak ingin menjadi sebuah nestapa pada penantian hidup. Tahukah? Usai ku tenggelam dalam kehidupan manusia normal lainnya, tidak ada arah dalam cinta, seperti roda kereta yang menghadapi jalurnya. Semakin waktu berjalan cepat, semakin aku tidak percaya waktu menarikku untuk kembali saat engkau menjadi pijakan, dan hidupku penuh dengan tujuan.
Aku masih menanti.. di jalanan ibukota rupamu selalu bertepi pada surya tenggelam. Aku bersandar pada kaca busway, menerka tiap-tiap jalan meski aku pun tahu engkau pasti tidak ada di sana. Tapi engkau selalu hidup dan menari-nari dalam ingatan. Aku percaya kita akan bertemu di antara pelangi yang membelah langit dan rembulan sedang cerah-cerahnya di tengah malam pada sebuah kepastian cinta.
Aku merindukanmu sekali lagi.

KETIGA
Malam ini aku tidak bisa tidur seperti manusia normal lainnya. 
Menimang gawai sudah, mengganti posisi pun sudah, namun mata ini masih lekas terjaga. Baru saja terlintas dirimu yang kini jauh di sana. Tapi mestinya aku tidak perlu khawatir sebab dirimu masih ada di bumi yang sama sepertiku. Aku jadi mulai berandai-andai di tengah sunyi kamar di antara jam dinding yang berdetak detik demi detik. Apa yang sedang dilakukan dirimu malam ini? apakah masih sama saat engkau mati kebosanan di tengah malam karena lapar yang membuat mu susah tidur. Di sana, kau menghubungi diriku dengan penuh rasa gundah dan suara manja. Sedang aku yang terkejut di tengah malam, lekas beranjak mengambil jaket menjemputmu. 

Jogja, di tengah malam, kita meramu temaram lampu di jalan-jalan tuk mencari apa yang perlu kita santap untuk menutup rasa lapar. Aku ingat, kau mengenakan sendal, pakaian santai bermotif bunga-bunga, memakai helm bogo yang ku kira membuat kamu menjadi lebih manis dari biasanya. Saat itu aku hanya sanggup memujimu di dalam hati, sebab kau tak perlu tahu tentang ombak yang memasung di dalam diriku kala itu. Seandainya engkau tahu, betapa senangnya diriku untuk berdua di tengah malam meski hanya mencari makan. Aku menjadi merasa manusia paling beruntung di bumi ini. Tapi aku tidak mau engkau menjauh dariku atas kejujuran di dalam hatiku.

Kita berdua di atas roda dua menyusuri jalan untuk menebak-nebak burjo atau angkringan mana yang enak. Kita memang pecinta kuliner sejati, namun yang disasar hanyalah burjo dan angkringan. Kita tahu semua rasa angkringan itu sama, tapi hanya kami yang tahu bagaimana menikmati malam di burjo atau angkringan mana yang cocok sesuai dengan suasana hati, dan cuaca hari. Misalnya, jika kamu sedang senang, kamu suka sekali angkringan yang ada di dekat alun-alun selatan sembari melihat orang-orang bermain layangan cahaya. Bila sedih, kau memilih angkringan di pojok bantul sambil menikmati wedang uwuh pak harjo. 

Aku kini tersenyum lagi, mengingat kala itu bahu ini yang kau pilih meski kita sama-sama tahu kasih yang kita semayamkan hanyalah fantasi malam dalam dorama hidup yang singkat. Aku ingat saat itu di hari terakhir kita akan berpisah. Kita memesan makanan paling mahal di pinggir jalan, aku memilih masakan khas aceh yang ternyata ramuan makanannya sangat lezat. Malam itu menjadi malam sangat panjang untuk terus mengingat senyummu, dan terlalu cepat untuk perpisahan. Aku baru sadar lembayung kian tenggelam di malam hari. Di sana pula aku baru tahu bahwa lembayung bukanlah perpisahan waktu antara gelap dan terang, namun perpisahan rasa yang kian perlahan memisahkan. Selama itu kita memutari kota Jogja, untuk alasan tidak jelas, tanpa suara, hanya bunyi kendaraan dan sejuknya angin malam. 

Aku percaya di batas kota ini, di fase kehidupan selanjutnya, aku ingin meromantisasi segalanya tentang dirimu. Sebab pada tulisan ini aku ingin persembahkan cerita ini untukmu. Pada akhirnya, hal yang kupegang erat saat ini hanyalah kenangan bersamamu. Sebab kehidupan di fase ini hanyalah mengejar materi semata tanpa meramu esensi seperti saat itu masa bersama dirimu. 

Malam itu menjadi malam yang paling bahagia untukku. Ku tahu, saat itu hanya sementara sebab pelabuhan hidup kita yang jauh berbeda. Sebab kau juga pernah berkelakar, "Entah di suatu masa di depan. Entah terlampau beberapa detik ke depan atau makin jauh meninggalkan peristiwa malam ini. Kita, akan selalu mengingat dan akan semakin merasa malam ini akan semakin romantis".

Episode itu hingga kini masih ku ingat, dan benar katamu, aku merasakan segala waktu yang pernah kita lewati saat itu adalah hal paling romantis. 

Kini malam semakin ranum, udara pagi mulai memeluk punggungku, aroma pagi sudah mulai bernaung. Di sini, sebelum aku memulai hari seperti biasa berangkat kerja, kerja, lalu pulang ke rumah. Aku yakin akan menemukan mu di suatu sudut jalan. Karena aku masih meyakini kata orang, bahwa dunia ini sempit. Terima kasih, selamat pagi.

KEEMPAT
Pukul satu, usai diri membiru tak ada bahasa yang paling tepat untuk menutup hari ini. Hanya perasaan diri terus menyatu dengan langit malam. Kekasih, kau pernah memahami segala malam yang pernah aku ceritakan padamu dahulu. Tentang semesta luas, bintang berpendar, rasi berkalung mega-mega bak kabut keabuan bersinar. Apakah mereka hanyalah perhiasan untuk membuktikan bahwa dia lebih indah darimu, aku menggoda. 
Kekasih, saat ku menatap langit malam ini aku selalu memastikan kita tertuju pada bintang yang sama meski ku tak tahu engkau di mana. Setauku hanya itulah hal yang mampu saat ini mempersatukan kita lewat pandangan mata.

Katanya langit malam ini bukanlah tampak langit yang sesungguhnya, saat menatap langit kita melihat cahaya masa lalu yang baru sampai ke bumi. Pancaran, pendarannya, kerlipnya hanyalah upaya kita melihat langit ratusan, atau bahkan ribuan tahun lalu. Aku jadi bertanya-tanya, apakah bisa jadi itu alasan mengapa malam selalu datang dengan bisikan kerinduan akan dirimu di suatu masa yang lampau. Saat matamu yang berpendar bagai langit malam ini. Kerinduan yang dihantarkan seperti udara yang selalu ku hirup, masuk ke sela-sela nadiku. 
Aku semakin saja bermain imaji akan dirimu. 

Hingga detik ini, saat ini. Kau adalah riwayat paling ku simpan di sela-sela doa. Kekasih.
20.04.22

KELIMA
Malam hari, menunggu masuk jam kerja dini hari. Aku duduk menyendiri sembari membaca buku sisa semangat nazar masa muda. Di usia yang semakin menua, idealisme hanyalah pajangan mewah di kamar sudut hati. Nazar membaca buku yang tak pernah aku akhiri.

Apakah kamu ingat? Nazar ini aku ucap di depan dirimu sebagai saksinya. Saat itu, langit runtuh di atas kepalaku. Setinggi apapun harap dan cita, mau tidak mau manusia harus mencintai takdirnya sendiri. Harus memeluk realita atas pilihan hidup yang sejatinya hanya menunggu mati. Aku tidak segan menumpahkan air mata dihadapanmu, melunturkan jiwa maskulinku agar kau tahu betapa rapuhnya diriku di luar soal perkara aku mencintaimu. Mestinya saat kau baca surat ini, engkau sadar, bagaimana keputusanku tetap berusaha menjadi sahabatmu tanpa mengucapkan kata lebih intim dari hanya sekadar teman. Di saat itu, aku harus memilih bekerja dan membagi pundak beban keluarga. Di tengah sedih kau berusaha menegarkanku. Masalah ini kami tertawakan, toh selama kita masih berjuang bersama, mana mungkin kita kalah melawan dunia, ujarmu. Aku yang bersedih sedikit tertolong dengan raut teduh di wajahmu. Aku kadang heran, justru kamu malah lebih sering curhat perihal laki-laki yang berusaha dekat denganmu. Lain ini, malah aku yang curhat. Tapi aku juga bersyukur, di antara lampu kamar kos, berhadapan dengan hamparan sawah, malam itu kunang-kunang menjadi saksi perbincangan kita. Sejak itu tidak apalah untuk tidak melanjutkan studi, namun aku tidak akan berhenti membaca buku. Karena itu nyawa ku untuk memahat idealisme yang tercacah.

Di sini, aku masih terduduk. Segelas kopi KSK habis dalam lamunan bacaan kemudian mengingatmu sesekali. Aku senang menyendiri kemudian tenggelam dalam bacaan buku. Sudah sejam dari aku memesan kopi, pulang dari sini mesti ku harus persiapkan pekerjaan nanti malam pukul 1. 

Dirimu, usai perpisahan malam itu. Apakah ada bahasa paling indah dalam mengarungi kerinduan? Apakah laki-laki masih bisa dianggap logis bila percaya pada keajaiban di suatu tempat kita bertemu lalu mengingat masa-masa itu. Kemudian takkan ku lupa untuk mengungkapkan betapa diriku mencintaimu. Untuk melepaskan segala bintang-bintang semesta terpenjara di dalam dada. Perihal dirimu, tetaplah menjadi alasan mengapa aku ingin terus membaca dan bekerja di dalam dunia fana ini.
Terimakasih.
11.05.22


Comments

Popular posts from this blog

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black)

Review Buku: Sejarah Dunia yang Disembunyikan (Jonathan Black) Oleh: HSA Setelah satu bulan akhirnya selesai juga buku tebal ini yang menyamakan rekor oleh bacaan sebelumnya (Sejarah Tuhan/Karen Armstrong). Banyak situasi unik tentang buku yang saya bawa ini jika diketahui oleh teman-teman. Yup tidak lain tidak bukan karena sampul buku ini menggambarkan simbol-simbol "segitiga mata satu", terkenal dengan cerita konspirasinya. Banyak kerabat yang mengernyitkan dahi, atau menampilkan wajah keanehan terhadap buku yang saya baca ini. Saya tidak heran, sebab sebelumnya saya juga memiliki pandangan yang sama, "wah ini buku konspirasi besar sekali!!". Kalau dibilang betul sekali, bagi seseorang yang alur bacanya sudah mengenal simbol-simbol ini, pasti landasan empirisnya berpacu pada konspirasi dunia. Jika kalian suka itu, bacaan buku ini menjadi kitab besar "konspirasi dunia" MESKI.. setelah anda baca ini, anda mampu tercerahkan dalam beberapa ha

Di Atas Motor

Sebab kau yang selalu berbicara, melalui hening dan hembusan angin di atas roda besi adalah bisikan termanis di dalam ruang dan waktu. 01-12-18

Review Film: Yowis Ben 2 (2019)

Yowis Ben 2 Dir: Fajar Nugros, Bayu Skak Film ini akhirnya berhasil mendapatkan sekuelnya setelah berhasil menkapalkan penonton hingga 100ribu-an dan memenangkan penghargaan di Festival Film Bandung. Kelanjutan dari Yowes Band pada lulus dari sekolah yang membuat para personel hampir bingung dengan masa depannya. Hingga akhirnya, Bayu dkk berniat untuk membesarkan bandnya dalam skala Nasional. Mereka bertemu dengan Cak Jon seorang Manajer (yang katanya) bisa membuat Yowes Band tambah terkenal. Mereka pun berniat ke Bandung dan 70% film ini berjalan dramanya di Bandung. Yowis Ben 2 sebenarnya memiliki potensi besar dalam menggali nilai kreativitas secara kultur sehingga film ini memiliki wacana yang jelas kepada penonton, apalagi dengan konsep berbahasa daerah. Sangat dibilang langka agar diterima oleh banyak orang. Namun penyakit sekuel film Indonesia masih di situ-situ saja, ya mungkin karena industri komersial yang sangat menomorsatukan laba. Untuk ukuran naratif cukup menghibur d