Oleh Fajar Bustomi
Salah satu dari mengingat dan menulis kunci keberhasilannya adalah konsistensi. Maka dengan itu saya coba tetap mengulas film untuk mewaraskan pikiran dan hati terhadap film-film yang saya tonton, meski ini selalu bersifat personal atau subyektif.
Film ini memang terlihat sangat pop corn dan tersegmentasi. Genre Romansa dicampur sub-genre religi/Islami mungkin akan menarik penonton dari golongan remaja atau dewasa muda. Jujur saat saya ingin menonton film ini tidak ada ekspetasi apapun karena dari sampulnya terlihat "sinetron".
Ternyata setelah saya tonton sampai habis, betul juga. Kalau film ini lebih cocok untuk masuk ke Film Televisi karena saya tidak mengalami sensasi sinema apa-apa, kecuali hanya menikmati suguhan nilai dari penceritaan yang menurut saya juga kurang begitu logis namun tetap dalam koridor mampu diterima oleh penonton. Tapi, dari hal ini.. saya melihat satu hal sehingga saya ada energi untuk menulis ulasan film ini. Yaitu tipikal film romantis pada umumnya yang selalu menggunakan kelas menengah atas atau atas dalam pencarian cinta idealnya.
Oke, lebih baik saya cerita tentang film ini kemudian akan saya ungkap rasa penasaran dan keheranan dengan film romantis pada umumnya. Film ini secara sinopsis singkatnya bercerita tentang wanita sukses dalam karir (Irma) namun secara umur belum menikah, sedangkan Irma ini memiliki ayah (Indro) yang sudah tua dan sakit-sakitan. Irma didesak oleh Ayah dan temannya selalu berbicara tentang pasangan, sedangkan Irma merasa belum siap. Hingga datanglah laki-laki dari masa lalu Irma yang sudah menjadi fotografer profesional sukses (Yusuf). Intrik drama pun terjadi dalam pergelutan batin Irma.
Film tersebut dibalut oleh nuansa keluarga dan komedi sehingga penonton menurut saya akan selalu rileks pada setiap adegannya. Meski menurut saya standar ada hal yang kurang saya sukai dalam penyelesaian filmnya (catastrophe). Tidak logis dan mestinya bukan itu yang menjadi klimaks filmnya, karena menurut saya penonton mempunyai logika tersendiri yang benar misal kalo sudah nonton sampe akhir.
Oke lanjut ke film romantis tipikal. Saya merasa film romantis pada umumnya (apalagi drakor) mengalami banyak gaya penceritaan yang Cinderella Syndrome. Yaitu bagaimana karakter mencari pangeran/ratu yang ideal untuknya. Kalo zaman sekarang orang akan mencari pasangan seperti seleb-seleb digital, wajib ganteng, kaya, mapan, soleh, rajin, pekerja keras, kalem, romantis dan lain-lain. Tidak laki-laki dan perempuan pasti secara alam bawah sadar menginginkannya. Ini tidak kurang, atau lebih film-film romantis bersifat tipikal seperti ini memelihara bentuk tersebut.
Padahal di dunia ini tidak ada yang ideal. Kita akan merasa ideal melalui pola pikir kita sendiri atau penerimaan diri maupun orang lain. Bukan menerima ideal sesuai dengan harapan kita. Meskipun bisa, saya rasa di luar materi atau fisik ada yang perlu disesuaikan sehingga menjadi ideal.
Nah, sayangnya film romantis tipikal macam gini selalu mempertontonkan wanita dan pria yang sukses, ideal, mapan baru dia mencari pasangan? Seolah-olah memberikan gambaran, untuk manusia yang menengah, ataupun menengah ke bawah, tidak boleh memiliki cinta ke orang lain. Wajib kaya dulu baru cerita cinta pasti akan indah. Drakor contohnya? Tidak jauh dari kekuasaan dan materi. Seorang bos yang pamer akan kekuasaannya kepada lawan jenis yang ditaksirnya dll. Menurut saya ini tidak ideal malah justru menghasut, atau terkesan fantasi tidak realistis. Penonton bioskop di Indonesia saya yakin masih paling banyak yang nonton itu kaum menengah. Jadi bisa saja, ada kesalahan persepsi akan sebuah nilai hidup di sini. Terlebih protagonis dalam film romantis mesti terlihat sempurna dan ideal. Percayalah itu adalah dongeng, semua film romantis itu adalah bentuk fantasi dari orang yang tidak memiliki bentuk cinta di film yang ia buat di kisah nyatanya. Makanya dia mewujudkan kisah fantasi idealnya ya di film.
Saya rindu kisah cinta yang realistis. Ada sih film seperti itu tapi masih nyasar di film pendek atau festival, pun dengan ending rata-rata yang mengecewakan atau sedih. Menurut saya kisah cinta kelas menengah itu lebih dekat dengan penonton, membuka tabir dan menyehatkan akal. Juga, kisah cinta kaum menengah mesti juga bisa bahagia kok. Kita tidak mesti wajib mencapai financial freedom dulu baru bisa mencari pasangan sesuai bayangan kita. Menurut saya itu justru menyeramkan, karena menurut saya itu bukan hubungan sepasang kekasih, tapi jajah menjajah.
Percayalah yang salah dari semua ketidakbahagiaan kita dalam mencari cinta bukan dari faktor kelas, atau luar. Tapi ekspetasi dan penerimaan diri kita yang belun ditingkatkan.
Ayo ditunggu film romantis yang realistis yaa...
Terimakasih.
Comments
Post a Comment