Oleh: Alissa Quart
Buku ini sebagai terusan dari kutipan Fromm yang pernah saya baca. Di mana manusia abad ini lebih suka tendensi dicintai daripada mencintai. Yaitu cenderung dengan mengkonsumsi apapun.
Pada sejatinya manusia memang makhluk konsumsi, karena dari tubuhnya dia tidak bisa menciptakan apa-apa, hanya membuat dari benda sekitarnya dan menggunakannya.
Belanja sampai mati juga cocok bagi ingin hidup minimalia. Cenderung konsumsi manusia lebih besar daripada mencintai dan berbuat produktif. Eksistensialisme manusia abad ini lebih suka melekatkan pada merek-merek tertentu untuk menunjukkan jati dirinya.
Tau kah kalian bila way of life kita saat ini diarahkan untuk selalu mengkonsumsi? Saat sekolah, gaya hidup, makan, minum, bahkan ke dokter?
Sekolah kita tunduk pada merek-merek nama kampus dimana itu menjadi gengsi pada sebuah masyarakat. Misal kampus A terkenal, semua orang berlomba-lomba untuk masuk ke kampus tersebut. Bukan untuk pintar, namun demi gengsi dan berharap mendapatkan kemudahan dalam hidup. Makan san minum yang kini sudah menjadi gaya hidup bukan lagi untuk pemenuhan hidup, McDonald's saat itu orang yang paling peka dan menciptakan makanan cepat saji. Jadi makan zaman dulu bukan karena ketersediaan pangan tapi kesenangan diri. Kecantikan? Kita sudah paham perempuan menjadi pasar penting bagi para penikmat uang dari konsumsi yang wanita lakukan demi kecantikan. Misalnya, operasi plastik, make up dengan berbagai macam gaya, bahkan untuk urusan sabun sampai odol.
Pada akhirnya, remaja gen Z poin paling memikat bagi perusahaan merek-merek untuk terus meraup keuntungan. Remaja paling mudah untuk digoda pada hal konsumsi, sebab mereka masih mencari jati diri. Apalagi anak menuju remaja. KGOY (Kids Getting Older Youngers) kalo ga salah istilahnya di mana pakaian dan gaya hidup dewasa menjadi sebuah pedoman anak-anak yang mestinya tidak pantas dilakukannya. Ada juga Insider, Mirip kaya Youtuber gadget, ia selalu menyarankan dan mengarahkan suatu barang untuk dikonsumsi, secara gratis. Maka ga heran kalo brand-brand merekrut dan mensupport mereka, karena meraup pangsa pasar.
Tapi bukan berati konsumsi itu buruk. Bahkan pegiat anti-kosnumerisme pun memakai nike, adidas dll. Tetapi tujuannya lebih kepada kebutuhan bukan keinginan yang mengelakkan. Gampangnya, beli sesuai fungsi bukan gaya.
Usai baca buku ini dan ketetapan poin di atas. Buku ini menyasar pada gaya hidup punk, di mana ia ingin sebuah kebebasan dan tidak bergantung pada merek-merek. Jika demikian, apakah saya pantas dibilang anak punk? Karena tidak tahu gaya dalam berpakaian dan memakai sesuatu sesuai adab dan fungsi saja?
Terimakasih.
Comments
Post a Comment