Kian datang Pujangga bertahan di antara kebenaran hati, Seandainya ia tak mengatakan luapan ombak berkecamuk di dada, Mungkin saja yang dicintainya tak pergi mengikuti angin barat, Semua resah abu-abu menjadi hitam ber-air penuh duka, Apakah Pujangga tak bisa memeluk keutuhan hatinya? Ia harus menebar, membiarkannya terbang dengan risau yang tak berkesudahan. Pujangga ingin berharap kebahagiaan, dalam mata menjadi sinaran yang dapat dipeluk di kala malam. Ia telah retak, tak ada secuil nyali lagi untuk kata-kata. Badai, telah dipupuk sisa hidupnya hanya menanggalkan cinta dalam pundak. Usai itu, ia tak pernah punya arah, hanya kerinduan dan kematian perasaan Sang Pujangga. Menghilang dihisap lumpur keterasingan. Ia sendiri, tak dianggap, menghilang dan tak pernah ada.
Jika jarak, waktu, rindu bertumpuk jadi satu. Teruntuk Tuhan dan ciptaannya, tak dapat dirasa oleh mata dan diraba oleh sentuhan. Maka jemarilah yang bertindak mewakili isi hati.