Skip to main content

Posts

Si Bodoh Angin

Pada malam suntuk, seirama dengan deru kencang roda besi berbaris mengarah pulang. Di balik jendela terdapat basah air langit, lambaian tatap tersamar oleh sekat waktu. Bagaimana gores senyum dari bibir tergambar pada malam sendu. Ada kibasan rambutnya dari tiap lampu-lampu yang lewat. Pada malam mana lagi mencari? Semua hanya tentang rupa sayang. si bodoh hanya mencari malam, tapi yang nampak hanya sekelebat lentik bulu matamu. Tidak, si bodoh itu hanya angan dari sepoyan angin malam sendirian. 06/2018

Puan Penghujan

Puan gerimis, basah terserap. Tertawa riang dalam deras. Maksudmu basah, pahamku air. Kau tunjukan teduh. Ku tatapmu pasti, lewat bau tanah yang bercinta dengan puan. Lewat jendela, ku nikmati kau di dalam kaca kepengahan dada. 12.02. 2018

Kekasih di Ruang Hati

Kau penabur cinta dalam raga, Menjelega embun di pagi buta, Ingatkah sungai bermuara pada lautnya? Semilir dedaunan jatuh diatas gemercik air kemudian lenyap pada aliran kasihnya, Meratap hati sedih senang lenyap, Kala menyambut kekasih di ruang hati. 22.01.2018

Tenggelam dalam lembayung

Ada siulan angin yang kiranya hening pada malam tiba, Masuk dalam sela jemariku dan membelai rambut, Aku menjadi kata-kata yang membingkiskan sebuah tanya, Terpaut jatuh pada jeda kisah, kosong melompong dicuri kalong ciut, Aku kata yang kehilangan alphabet, Dasar rindu kampret, Aku tenggelam dan hilang, Tak semenarik senja saat kau menjadi lembayungnya. 12-01-18

Tak Ada Mawar

Temaram malam mengusik tabir jiwa, Berkhilwat dalam sunyi tentang cinta, Dapatkah ku cumbu satu? Biar kanda rasa seperti adinda, Waktu seperti belati, aku yang mati. Ruang seperti penjara, aku yang merana. Adakah satu mawar saja hinggap di kupingmu? Aku mau satu, benar-benar hanya satu, Karna sekalipun sampai larut senja, tak ada mawar yang mekar di taman cinta kanda. 10-12-17

Elegi kehilangan kata

Bila tak mengenal hari maka tak ku hitung perjumpaan kita. Dimana saling berpandangan tanpa jarak, menguatkan hanya lewat lisan di lorong doa. Bukankah doa mendekatkan? Dari ujung kemalasan aku berandai-andai. Sekiranya kau perupa hujan yang ku sentuh kini, datang dari awan selatan. Akan ku buat sebuah kolam demi memandikan kehidupan dari hirup udara penatnya hidupku. Apakah rindu itu akan hilang? Ku mainkan musik Payung Teduh, dengan segelas kopi sachetan hanya untuk memuaskan manis klise ini. Kopi seharga ribuan rupiah, hanya mengandalkan manis ilusi. Seperti gawai yang kugenggam ini, tidak ubahnya sebuah kopi sachet. Meski dunia berubah begitu maju, tapi tidak dengan rasa rindu. Kita bisa saja bersapa suara atau rupa melalui canggihnya gawai. Tapi rindu membaca itu hanya sebuah ilusi. Ternyata rindu tidak butuh rupa, rindu tidak butuh suara. Rindu butuh yang lebih dekat daripada itu semua. Bagaimana dengan yang sudah lama tidak bersapa? Akankah rindu menjadi bangkai? Adakah masa...

Kotamu Amelia

Ameliaku, basah sudah tanah ini disiram air dari langit, Kotamu berpandang-pandang beton kuanggap taman bunga, Angin barat kian terasa sebab tak ada yang tahu romansa masa muda kita, Mungkin pasukan kuda citra akan tertawa cekikikan dan berlari berputar-putar dihadapmu. Ameliaku, sudah tak berbekas jejaknya tersapu air, Langitnya gelap, bintangnya jatuh ditimbun pasir, Dalam khilwat, kotamu bukan lagi kotaku, Oktober yang menghapus, sawaq menguat, Habislah ritus kata-kata, berpendar menjadi kunang-kunang, Kadang menghias pada malam, siapa tahu ada orang yang menitip sayang. Amelia, hanya bunga mekar musim kemarau. 29.10.17