Pemuda itu duduk di sabana padang pasir perbatasan
antara gurun dan bukit hijau dilapisi trotoar aspal dimana manusia bisa sebut
sebagai tempat tinggal. Banyak mobil lalu Lalang truk-truk yang membawa pasir dan
peralatan besi. Rasa-rasanya ada dua bagian bumi yang menjadi batas antara
kehidupan dan kematian, namun pemuda tersebut tetap takzim menatap batas
gunungan pasir yang tidak terbatas. Bagi kebanyakan orang mungkin mengira
pemuda itu gila, setiap hari tepat senja sudah di batas tatap mata antara
kefanaan malam dan sore pemuda itu sudah terduduk manis menatap padang pasir.
Pemuda dengan tatapan kasih, menatap fatamorgana yang belum pernah dilihat
kebanyakan manusia di kota sana. Separuh rasa dia nikmati, tiap sepoian angin
beradu dengan air di dalam oasis pada pandangannya.
Di dalam oasis terdapat beberapa pohon kelapa dengan
buah yang melimpah bak gadis desa yang siap dipinang. Ada juga talaga yang
begitu menyegarkan, air melimpah bak air zam-zam yang mensucikan, sekumpulan
teratai merah berada di pinggir dan tengah talaga. Pemuda yang sedang takzim
menatap oasis sedang mencari satu teratai langka. Teratai tersebut berisi
segelas kasih dan cinta yang diincar orang-orang kota, begitulah anggapan
seorang si pemuda yang asyik duduk.
Pemuda tersebut hanya ingin menikmati tanpa pernah
selangkahpun menuju ke oasis layaknya surga. Bahkan air dalam Oasis harusnya
sudah cukup untuk dijadikan alasan agar bergegas ke Oasis. Dalam satu sisi, dia
paham Oasis itu hanyalah fatamorgana dari senja gemilang sebab
gelombang-gelombang langit sudah menuju sandekala kekuningan, pada waktu-waktu
itu mulailah penampakan Oasis layaknya surga itu muncul dan memberikan kesempurnaan
tersendiri bagi si Pemuda.
Pernah beberapa pejalan kaki menanyakan mengapa ia
terus takzim menatap padang pasir kosong tak berujung? Si Pemuda menatap orang
yang menanyakan dan memberikan seberkas senyum ikhlas dari wajahnya “Karena
saya Cinta” ucapnya. Orang yang menanyakan tadi mulai melangkah mundur dan
menjauhi si Pemuda, mungkin karena dikira gila. Si Pemuda tidak acuh pada
orang-orang yang menyebutnya gila.
Cinta, sebab hanya alasannya itu ia mampu
bertahun-tahun bahkan berabad-abad duduk di selasar sabana. Si Pemuda sudah
muak dengan apa yang ditatap cinta zaman sekarang, menurutnya sudah tidak
indah, sudah bukan cinta apa-apa yang diharapkan mata dan hati saat pertama
menatapnya pertama kali. Cinta orang dewasa hanyalah masalah keuntungan, sebuah
pertukaran nilai yang mana apa yang manusia-manusia itu punya haruslah
sebanding dengan apa yang ia dapatkan. Cinta sudah menjadi alasan kenapa
manusia ingin merasa abadi di dunia ini! Si Pemuda sudah bilang, persetan
dengan cinta seperti itu. Ia hanya tahu bagaimana cinta yang ia rasakan saat
bertaut mata dan hati pada saat jatuh cinta pada pertama kali.
Pemuda itu hanya ingin mencintai, ingin mencintai.
Baginya kesempurnaan hidup ada pada rasa mencintai. Bagaimana pemuda tersebut
berlindung di bawah hujan hanya untuk mengantarkan payung kepada bidadari yang
sedang berlindung dari hujan. Biarlah ia lelap pada dinginnya hujan. Baginya
ini adalah kesempurnaan hidupnya. Sampai akhirnya ia menemukan cinta pada
sebuah fatamorgana dan teratai cinta di dalamnya.
Pada dasarnya Pemuda itu hanya ingin cinta yang ia
rasakan adalah bukti jika Tuhan memanglah Maha Indah. Melaluinya, tatapnya
sehingga menggores gita cinta yang pernah disemaikan, anggap Pemuda itu. Hanya
saja, manusia-manusia di luar sana, cinta pandangan pertama adalah cintanya
anak kecil, main-main dan tidak serius. Hancurlah berkeping-keping si Pemuda
dengan jiwa yang membara. Itulah mengapa ia bisa menemukan sebuah kesemuan yang
abadi, tepat pada fatamorgana Oasis di lautan senja serta mega-mega awan
semakin menunjukkan lembayungnya. Hari sudah semakin menuju gelap, purnama siap
menyelimuti sedangkan matahari mengabarkan bahwa terang hanya milik sepertengah
hidup manusia, sisanya manusia diselimuti malam.
Pada akhirnya ia bergegas pergi setelah malam dan
menanti untuk esok hari menatap fatamorgana yang sama, oasis yang sama, senja
yang sama dan malam yang sama. Baginya, itu adalah kesempurnaan yang bertambah
pada nadir jiwanya. Si Pemuda tetap enggan bergegas ke Oasis, sangat berbanding
terbalik dengan apa yang pernah ia katakan. Bahwa ia mencintai Oasis serta
teratai kasih di dalamnya “Aku tidak ingin mengganggu kesempurnaan indah di
Oasis itu dengan tanpa manusia, termasuk diriku. Aku menyebutnya hal ini juga cinta, jiwaku
tetap berada di altar indah dan masih bertaut pada Oasis itu, meskipun hari ini
telah gelap, sesungguhnya hatiku sudah bersinggahsana di sana, bahkan sudah
meminum air segar dalam Oasis itu.” ucapnya. Pemuda itu berjalan bergegas menuju
keheningan malam, hingga badai pasir menghilangkan jejaknya. Hanya ada angin,
padang pasir, dan cerita Oasis yang ia simpan rapat-rapat.
31 Maret 2018, 12:45AM.
HSA
Aku menunggu karyamu untuk di publikasikan
ReplyDeletethanks sudah comment, dan doakan saja :)
Delete